Welcome guys~ Thanks for visited my blog, and enjoy guys~~

Senin, 25 November 2013

i cant handle it..

setiap orang akan mengalami itik terjenuh atau titik kegagalan atau titik yang paling terpuruk di hidupnya. setelah sekian lama rasa ini mengekang, sekarang aku memutuskan untuk melerakannya. melerakan dia pergi dari hidupku. bukan hanya melerakan, tapi juga ikhlas melepas kenangan itu pergi, mengikhlaskan rasa ini berhenti sampai disini. karena aku tau, kamu ingin melanjutkan kehidupan tanpa aku. lantas untuk apa aku mengharapkan mu jika kamu saja tidak ingin diharapkan oleh ku?. i'm give up, i cant handle it any more. its so complicated more than film televition. like my brother said: " cerita kamu itu lebih complicated dibandingkan sinetron sinetron di Indonesia tau de..."

COME BACK!!!

haiii long time not see you guyysssssss.. miss you so baaaad... i have many tasks and exams so i cant post any more. tapi sekarang aku sudah kembali~ jadi aku akan menulis tentang kehidupan, perasaan dan semua muanya yang terjadi tentang aku~~~

Selasa, 16 April 2013

7 Kisah Misterius Segitiga Bermuda



Dipublikasi Oleh Perencana.Info pada 7 Kisah Misterius Segitiga Bermuda - Segitiga Bermuda merupakan daerah yang berada di Wilayah laut di selatan Amerika Serikat dengan titik sudut Miami (di Florida), Puerto Rico (Jamaica), dan Bermuda ini, telah berabad-abad menyimpan kisah yang tak terpecahkan. Misteri demi misteri bahkan telah dicatat oleh pengelana samudera macam Christopher Columbus.


segitiga bermuda



1. Sebuah Argumen dari suatu Perusahaan Asuransi Kapal Laut

Perusahaan asuransi laut Lloyd’s of London menyatakan bahwa segitiga bermuda bukanlah lautan yang berbahaya dan sama seperti lautan biasa di seluruh dunia, asalkan tidak membawa angkutan melebihi ketentuan ketika melalui wilayah tersebut. Penjaga pantai mengkonfirmasi keputusan tersebut.
Penjelasan tersebut dianggap masuk akal, ditambah dengan sejumlah pengamatan dan penyelidikan kasus.


2. Teori Lorong Waktu

Menurut beberapa peneliti,mungkin dikawasan ini terdapat sebuah gangguan atmosfir di udara berupa lubang di langit.Ke lubang itulah pesawat terbang masuk tanpa sanggup untuk keluar lagi.
Dari misteri “Lubang di Langit” ini membentuk sebuah teori tentang adanya semacam perhubungan antara dunia dengan dimensi lain. lubang di Langit itu dianggap semacam alat transportasi seperti tampak di film Star Trek. Ataukah bentuk Lubang di Langit itu UFO? Orang sering menghubungkan hilangnya pesawat kita dengan munculnya UFO.



3. Teori Blue Hole

Konon di dasar laut segitiga bermuda terdapat semacam lubang/gua dasar laut,dulu gua ini memang sungguh ada, tetapi setelahjaman es berlalu, gua ini tertutup.Arus didalamnya sangat kuat dan sering membuat pusaran yang berdaya hisap.
Banyak kapal-kapal kecil atau manusia yang terhisap ke dalam blue hole itu tanpa daya,dan anehnya kapal-kapal kecil yang terhisap itu akan muncul kembali ke permukaan laut selang beberapa lama.
Tapi yang menimbulkan pertanyaan ialah: Mungkinkah Blue Hole ini sanggup menelan
kapal raksasa ke dasar lautan?



4. Teori Gas Metana

Penjelasan lain dari beberapa peristiwa lenyapnya pesawat terbang dan kapal laut secara misterius adalah adanya gas methana di wilayah perairan tersebut. Teori ini dipublikasikan untuk pertama kali tahun 1981 oleh Badan Penyelidikan Geologi Amerika Serikat.
Teori ini berhasil diuji coba di laboratorium dan hasilnya memuaskan beberapa orang tentang penjelasan yang masuk akal seputar misteri lenyapnya pesawat-pesawat dan kapal laut yang melintas di wilayah tersebut.



5. Teori Misteri Lidah Lautan

Kawasan Segitiga bermuda sering juga disebut sebagai Tongue of the Ocean atau Lidah Lautan.Lidah Lautan mempunyai jurang bawah laut (canyon).Ada beberapa peristiwa kecelakaan di sana.
Tidak banyak yang belum diketahui tentang Segitiga Bermuda, sehingga orang menghubungkan misteri Segitiga Bermuda ini dengan misteri lainnya. Misalnya saja misteri Naga Laut yang pernah muncul di Tanjung Ann, Massachussets AS, pada bulan Agustus 1917.



6. Teori Misteri Makhluk Sargasso

Misteri lain yang masih belum terungkap adalah misteri Makhluk Laut Sargasso, yang bukan semata-mata khayalan. Di Lautan Sargasso,banyak kapal yang tak pernah sampai ke tujuannya dan terkubur di dasar laut.
Di sana terhimpun kapal-kapal dari berbagai jaman, harta karun, mayat tulang belulang manusia. Luas Laut Misteri Sargasso ini 3650 km untuk panjang dan lebarnya 1825 km, dan di sekelilingnya mengalir arus yang kuat sekali, sehingga membentuk pusaran yang sangat luas yang berputar perlahan-lahan searah jarum jam.



7. Teori Angin Puting Beliung

Mungkin di area ini sering terjadi badai laut yang mungkin bisa membentuk suatu pusaran angin yang dapat menyebabkan hancurnya sebuah pesawat terbang karena terhempaskan.
Ada juga yang mengatakan bahwa penyebabnya dikarenakan oleh adanya sumber magnet terbesar di bumi yang tertanam di bawah Segitiga Bermuda,sehingga logam berton-tonpun dapat tertarik ke dalam.




Sumber: http://www.perencana.info/2012/01/7-kisah-misterius-segitiga-bermuda.html#ixzz2Qd5KLlf6

Senin, 15 April 2013

Wrong Love

okey~ seperti biasa aku mau ngepost tentang cerita gitu. karya ka Erisca Febriani. nih orangnya 



Erisca Febriani. lucu ya??








dan ini dia, karyanya ka Erisca~
enjoy guys~

Aku tersenyum, menatap lembut kearah sepasang bola mata Justin. Kulitnya yang berwarna putih mulus terlihat sedikit merah akibat terbakar panas matahari dibawah terik lapangan basket. Aku akui, dia sangat keren. Keren sekali. Aksi permainannya selalu berhasil menarik diriku untuk terkagum-kagum. Pupil mataku yang ditutupi kacamata berlensa kini kembali jelalatan, melirik kearahnya dan sama sekali tidak bisa menarik bola mataku untuk tidak berhenti memperhatikan dirinya yang kelampau menarik menurutku. Sejak tiga bulan ini, aku selalu saja menonton latihan basketnya, memberi semangat saat pertandingannya dan mengucapkan selamat saat dia memenangkan perlombaan. Walaupun, aku tidak tahu apakah dia menyukaiku atau tidak. Aku rasa, jawabannya tentu tidak.


Aku bertepuk tangan keras begitu Justin berhasil memasukkan bola terakhir kedalam ring dan gol. Semua supporter berdiri menyambut kemenangannya yang kepuluhan kali, lihat dia hebat sekali kan? Aku turun, mengambil botol minum dan handuk kecil untuknya mungkin sekedar memberi perhatian kecil untuk Justin. Itu tidak masalah. Aku menarik nafasku, berusaha mengatur degup jantungku yang terasa berdebar-debar sekarang. Jeez. Kenapa Justin selalu saja berhasil membuat jantungku berdenyut hebat seperti sekarang.


Aku lantas menggeleng cepat, berusaha menguasai diriku kali ini lantas melangkahkan kakiku untuk bangkit dari kursi penonton dan menghampiri dirinya dipinggir lapangan bersama anggota lainnya. Aku berlari kecil, menghampiri tubuh Justin yang paling menonjol disana. Paling seksi dengan titik-titik keringat yang muncul ditubuhnya. Aku menarik nafas, lagi.


“Justin….”aku membuka suaraku, membuat semua laki-laki yang ada dipinggir lapangan itu spontan melirikku heran. Alis mereka mengernyit dengan bibir melengkung penuh tanda tanya, menebak-nebak siapa sebenarnya aku ini. Well, ya aku tegaskan bahwa aku memang bukan siapa-siapa Justin. Aku hanyalah seorang gadis yang menjadi seorang penggemarnya saja. Tidak lebih dari itu. Justin tersentak dan memutar tubuh berkeringatnya kearahku, aku tersenyum kecil.


“uhm-hm, memanggilku?”tanyanya lagi. Aku mengangguk, sementara ekspresinya langsung berubah kusut dan kesal kearahku. Aku hanya berusaha untuk tersenyum sekarang. Apakah Justin membenciku?

“untukmu”aku lantas memberikan botol minum dan handuk kecil kearahnya, bola matanya memicing, menatapku dengan seraut ekspresi kesal dan tak suka atau merasa risih dengan kedatanganku sekarang.

“Justin, dia pacarmu?”Jack melirikku. Dia juga sama tampannya, sayangnya aku sudah terpikat oleh pesona Justin. Pria itu memandangku dengan tatapan penuh olok-olok seakan meremehkan aku kali ini. Aku terdiam lagi, melirik Justin. Bola mata karamelnya ikut melirikku penuh dengusan.


“Tentu saja bukan”

“Well.. aku hanya kaget, bagaimana mungkin kau bisa berpacaran dengan dia? Bagaimana dengan nasib Valerie? Kau mau menduakannya dengan gadis cupu ini?”jantungku nyaris mencelos mendengar itu. Justin memberengut memberikan seulas ekspresi tidak sukanya kearahku. “Berhenti membicarakan tentang Valerie. Aku sudah lama putus dengannya”gertaknya kesal, risih dan tidak nyaman saat Jack mengungkit tentang mantan pacarnya dulu. Aku kembali mengigit bibirku lagi.


“Oh jadi kau benar-benar menyukai si Libby cupu, ini?”Jack menggerutu lagi. Justin langsung melempar pandangan ketusnya kearahku, tatapan yang mampu membuat sekujur tulang-tulangku menjadi beku. Kenapa sih Justin sepertinya tidak pernah bisa memperlakukan aku dengan baik, dengan ramah atau anggun? Apakah dia memang sebegitunya tidak menyukaiku. Aku tahu, aku memang tidak mempunyai sebuah kelebihan menonjol. Aku tidak secantik Valerie, aku tidak mempunyai sepasang bola mata indah miliknya, aku tidak mempunyai sepasang paha mulus seperti Valerie yang membuatnya tampak cantik mengenakan hotpants. Aku kira, aku hanya seorang Libby biasa. Yang terlihat biasa dengan rambut hitamku yang sederhana dan selalu dikatakan sebagai gadis cupu.


Justin langsung merebut botol minuman dan handuk itu dari tanganku. Membuka penutupnya dan meneguk isi airnya hingga habis. Aku tersenyum kecil, merasakan jantungku berdebar hangat saat kulitnya menyentuh permukaan telapak tanganku. Sesederhana itu. Aku kira, cinta itu memang begitu mendominasi emosiku sekarang.

“sekarang minggir, aku harus beristirahat sekarang”Tegasnya lagi kembali mengenggam botol yang sudah habis ditangannya itu. Aku mengangguk lagi, dan membalikkan tubuhku untuk menjauh.


“kau bodoh jika menyukai gadis seperti Libby”aku sempat mendengar suara Jack mencetus kearahku. Dadaku sempat nyaris berhenti berdetak mendengar itu, rasanya ada sebuah kerikil tajam yang tiba-tiba menempel didadaku sekarang. Aku menghela nafas lagi lantas menggeleng cepat. Jangan pikirkan itu, mereka hanya sekumpulan orang-orang iri yang tidak menyukaiku. Aku berdesis memikirkan tentang Jack yang sering sekali mengolokku.



**** 


Rasanya aku tidak pernah sebahagia ini, memikirkan bahwa aku sedang berada dipadang dandelion bersama Justin, dia sedang mengenggam tanganku, mengecup bibirku lembut dan merangkul mesra pinggul kecilku. Aku kembali menarik senyum tipis, memasuki gerbang sekolah dengan sedikit berlari pelan. Langkahku lantas terhenti, melihat range rover land milik Justin muncul didepanku, melewatiku sekarang. Aku terhenyak, kembali merasakan gelombang kecil mampu berdebur hangat mengaliri hatiku saat ini.


Aku melangkah, beringsut ingin menghampiri Justin sekarang, menyambutnya atau sekedar menyapanya sekilas namun tubuhku langsung diam begitu melihat sepasang kaki yang dibalut flatshoes turun dari dalam mobil itu. Aku memicingkan kelopak mataku samar, melihat ada gadis lain didalamnya. Deg, aku merasakan jantungku seperti disengat sebuah alat pemacu jantung yang dialiri listik ribuan voltase. Caroline Kirsteen. Chuzzz. Dadaku sedikit berdesis begitu melihat gadis itu disebelah Justin sekarang.


Justin ikut turun dari dalam mobil dengan tas ransel diselempang disalah satu lengannya yag berotot. Rambutnya yang dibentuk terlihat kemilau dibawah terik matahari pagi, aku sempat mengerjap lantas meneguk ludahku lagi melihat Justin merangkul Caroline sekarang. Ikut berdiri disebelah gadis itu, merangkul bahunya. Aku merasakan sekujur tubuhku mengelu sekarang. Beberapa sahabat Justin menghampirinya, salah satunya Jack dan Evrol yang selalu mengejekku. Mereka sepertinya mendukung Justin dengan Caroline untuk bersatu.


Mereka memang cocok, dibekali kemampuan dan tampang yang rupawan. Mereka sempurna dan serasi jika benar-benar berpacaran tapi rasanya aku merasa sedikit tidak rela. Kau tahu kenapa? Karena aku mencintai Justin. Apakah aku begitu lancang jika berusaha untuk menyukainya? Kurasa tidak. Tidak sama sekali. Cinta itu bebas. Bebas untuk memilih siapa saja, tanpa melihat batasan atau sebuah selaput tebal yang memisahkan aku dengan Justin.


Aku kembali menguasai emosi yang membakar dadaku, memberikan sebuah sensasi panah dengan cepat mengaliri dinding-dinding jantungku. Ada sesuatu yang terasa melepuh disana. Mengganjal benakku dengan kuat, saat melihat Caroline dengan mesra menggandeng lengan berotot Justin, menyandarkan kepalanya dibahu pria itu. Aku merasa iri. Iri dengan mereka semua yang mempunyai akses mudah mendekatinya. Sementara aku? Aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya untuk mendekati Justin. Aku merasa tidak pede. Mereka sangat mudah sekali untuk bisa berjalan disisi pria itu, aku hanya ingin tahu bagaimana caranya.


Yang bisa kulakukan hanyalah memandanginya, mengaguminya, menonton pertandingan basketnya, memberinya semangat dan memperhatikan gerakan Justin dari jauh. Aku berpikir, bahwa aku adalah seorang gadis yang sangat buta jika mengira bahwa dia akan menyukaiku. Kalian tahu kenapa? Justin pasti akan memilih seorang gadis seperti Valerie atau Caroline. Yang mempunyai rambut indah seperti iklan shampoo loreal. Mempunyai kulit mulus seperti sutera. Dan aku, aku tidak termasuk dengan kriteria itu. Aku tidak tahu bagaimana caranya agar Justin mampu membalas cintaku.


Dan aku yakin satu hal.
Cinta itu tidak harus memiliki.
Walaupun jujur dalam hati, aku sangat ingin memilik Justin.. seutuhnya.


Aku mencelos lagi, merasakan jantungku nyaris berhenti berdetak sekarang saat melihat Caroline mengecup pipi lembut Justin. Menghirup aroma wangi khasnya, merasakan bagaimana hangatnya didekap oleh Justin, aku iri dengan mereka. Yang mampu berada disisi Justin. Aku ingin seperti Caroline, aku ingin seperti Valerie. Mereka yang bisa mendekati Justin tanpa harus diolok atau diremehkan sepertiku. Apa bedanya? Aku terkadang bertanya-tanya. Apa bedanya jika aku berusaha untuk mengejar Justin.


Tidak ada. Tidak ada yang membedakan apapun dalam urusan cinta, masalah hati dan perasaan. Semuanya sama. Aku tahu mereka hanya melihat seseorang dari fisik, dari penampilan, mengetahui aku seorang gadis cupu yang selalu dilengkapi dengan kacamata berlensa. Aku cupu, aku tahu itu. Aku kembali mengigit bibirku lagi mengetahui bahwa Justin tidak pernah berusaha untuk melirikku. Tidak pernah, sedikitpun. Apakah dia sebegitu demikian padaku?


“Baaam!”Seseorang menarik kacamataku dengan paksa, mendorong tubuhku hingga terjatuh. Aku tersentak, tersungkur dengan penglihatan samar. Aku sempat melihat Valerie sedang memegang kacamataku ditangannya. Dia tertawa kecil.

"sedang memandangi Justin, hm?”tanyanya lagi kali ini dengan nada penuh ejekan. Aku tersentak lantas menggeleng cepat, berusaha untukmengambil kacamata itu dari tangannya. Aku sama sekali hanya bisa melihat pemandangan samar-sedikit-buram dihadapanku. Aku tidak bisa melihat seraut wajahnya dengan jelasnya.


“Justin! Look, Libby sedang memandangimu disini”Valerie berteriak, membuat Justin yang sedang berdiri bersama Caroline langsung memutar bola matanya melirik kearahku. Aku hanya bisa menundukkan wajahku dalam-dalam, merasa begitu malu saat ini. Valerie kembali memiringkan wajahnya kearahku.


“Uhm-hm, aku sedikit sangsi apakah bola matamu masih bisa memandangi Justin dengan baik sekarang? aku rasa tidak tanpa bantuan kacamata lensa ini”Ujarnya lagi tertawa, disusul tawa riuh yang membahana disekitarku. Aku bisa merasakan puluhan pasang mata memandangku penuh olokan, mengejekku, kembali memojokkanku disebuah sudut yang gelap, dalam tanpa cahaya. Aku merasakan kelopak mataku terasa memanas sekarang, aku mengerjapkan bulu mataku menyentuh hingga kesudut pipiku beberapa kali lantas merasakan air mata menetes pelan, mengaliri wajahku membuatnya sedikit lembab. Valerie kembali tertawa, puas melihat ekspresi sekarang.


“kau harus tahu sesuatu, selamanya… Justin tidak akan pernah bisa menyukaimu. Kau hanya seorang gadis cupu, tidak tahu diri, terlalu bermimpi tinggi untuk bisa membuatnya tertarik padamu”Gadis bermata perunggu itu mendekatkan bibirnya, berbisik tajam ditelingaku. Aku merasakan sekujur lambungku menjadi pedih dan ngilu sekarang. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Apa aku salah jika aku menyukai Justin? apa ada sesuatu yang salah, sekarang.


Aku mengulurkan tanganku berusaha meraih kacamata ditangan Valerie, gadis itu langsung menjauhkan tangannya. Membuatku kesulitan dan sedikit berjingkat untuk mendapatkan benda itu. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas saat ini. “Valerie, kembalikan kacamataku”gadis itu terkekeh kecil dan dalam hitungan ketiga, dia langsung melemparkan kacamataku kelantai lantas menendangnya jauh-jauh. Aku terkejut kemudian berusaha merangkak mengambil kacamata itu sekarang. Aku bisa merasakan gema berbagai jenis tawa terarah padaku, menertawakan kesusahanku sekarang.


Aku kembali menjulurkan tanganku, dan nyaris saja aku mengambil kacamata itu. Kaki Valeria sudah kembali menendangnya. Aku tersentak, ingin menangis sekarang. Aku merasakan bulu mataku begitu basah tergenang air mata. Mereka makin tertawa, puas, bahagia. Apa yang mereka tertawakan sekarang? apakah ini semua lucu? Menganggap sesuatu sebagai sebuah bahan olokkan disaat aku sedang menderita. Aku kembali menghela nafasku lagi berusaha untuk tidak menangis. Aku masih terus merangkak, berusaha mengambil kacamata yang tergeletak diatas lantai hingga akhirnya aku bisa merasakan seseorang memberikan benda itu kepadaku.


Aku tersentak, menengadah. Menatap sepasang bola mata yang sekarang menatapku. “ini… milikmu”Deg. Aku merasakan jantungku nyaris berhenti untuk berdetak sekarang. ini tidak mungkin kan. Barusan, yang mengambil kacamataku adalah Justin. ya, Justin Bieber. Aku langsung memakai kacamata itu bertengger diatas batang hidungku dengan sempurna. Justin menatapku lagi, kali ini dengan seraut ekspresi datar dan membalikkan tubuhnya untuk menjauh dariku. Aku diam, merasakan sekujur tubuhku mengelu sekarang.


Aku tidak tahu apa yang semestinya aku lakukan.


**** 


Aku kembali merapatkan jaket yang membalut tubuhku dibalik seragam sekolah yang masih bertahan sejak tadi pagi. Pandanganku tidak pernah lepas dari Justin sekarang. Dia sedang latihan basket hingga senja sudah benar-benar tenggelam, meluputkan goresan oranye yang membekas diujung garis cakrawala. Aku kembali mendekap tubuhku lebih erat lagi, sesekali tersenyum kecil melihat Justin yang berhasil mencetak satu poin kedalam ring. Aku melihat semua orang sudah benar-benar pulang, sekolah dan lapangan sudah sangat sepi. Mungkin, hanya terdengar suara bola basket Justin yang memantul saat melakukan dribble dan hembusan nafasku berdengung memasuki pendengaranku sekarang.


Aku langsung maju melesak, turun menghampirinya yang sudah terduduk ditengah-tengah lapangan dengan keringat bercucuran deras. Aku muncul dibelakang Justin, mengusap titik-titik keringat yang muncul didahinya. Dia sempat tersentak, punggungnya sempat terkejut begitu merasakan tanganku berada dipundaknya lantas Justin menengadah. Sepasang bola matanya yang berpendar ditengah cahaya remang seperti warna nektar kental. Aku ikut duduk disebelahnya, memberikan sebotol air mineral. Dia mengambil benda itu dan meneguknya habis. Aku tersenyum kecil, saat Justin kembali menatapku dengan seraut wajah bingung.


“kenapa kau bisa disini?”tanyanya ketus, sedikit dingin. Aku menghela nafas lagi

“Menonton latihan basketmu”ujarku lagi. Justin memicingkan kelopak matanya menimbulkan kerutan merona disekitar dahi dan wajahnya sekarang namun sama sekali tidak mengurangi garis tampan miliknya. Aku kembali merapatkan jaketku lagi, merasakan hembusan angin makin menyelimuti tubuhnya nyaris membeku sepertinya memberikan sebuah tanda-tanda bahwa musim panas akan segera berakhir.


“aku sudah pernah bilang, kau tidak usah repot-repot melakukan semua ini padaku”Ujarnya lagi, dengan intonasi suara tidak suka seakan menegaskan padaku untuk berhenti mengikutinya. Aku terdiam, berusaha untuk mengatur debur jantung yang bergelombang cepat didadaku. Rasanya… sangat cepat dan hebat sekali. Bahkan, berada disebelah Justin saja aku sudah bisa merasakan hal-hal seperti ini. Justin kembali menatap sepasang bola mataku, menusuknya tajam. Dan dalam beberapa detik, aku merasakan hatiku seperti disayat-sayat. Bahkan dari caranya menatapku kental sekali bahwa Justin sama sekali tidak menyukaiku.


“aku .. aku hanya—“

“Shut up, aku tidak ingin mendengar apapun alasanmu. Dengar, aku tidak ingin lagi melihatmu membawakan aku minum atau apapun. Aku bisa membeli jika aku mau”teriaknya kali ini dengan sedikit emosi. Aku sedikit gemetar lantas menundukkan wajahku dalam-dalam. Hanya ini cara agar aku bisa dekat dengan Justin, hanya dengan cara ini dan jika Justin melarangku. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar aku mampu memperhatikannya lebih intens.


Justin—“dia mbalas memandangku marah. Aku tersentak lagi, aku hanya ingin Justin ada disisiku. Berada dekat denganku seperti saat ini, walaupun dia seperti tidak suka padaku. Aku tidak peduli, karena aku hanya berpikir bagaimana caranya agar aku mampu memperhatikan dirinya.


“aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau sudah mengambilkan kacamataku tadi pagi”Dengan susah payah, aku berusaha mengangkat suaraku. Dia berdeham kecil, sepasang bola matanya mengingatkan aku pada bola saju yang beku dan rasanya mampu menghantarkan rasa dingin mengaliri sekujur tubuhku, meresap masuk kedalam pori-pori kulitku sekarang.


Tidak perlu berterimakasih padaku”

“Justin, apa kau membenciku?”Aku kembali mengajukan sebuah pertanyaang yang terkesan begitu tiba-tiba. Aku sama sekali tidak tahu kenapa pertanyaan ini muncul, aku hanya terkesan ingin tahu dan penasaran. Mengapa dia begitu ketus padaku, kenapa dia tidak bisa memperlakukan aku seperti caranya memperlakukan Valeria atau Caroline?


“Tidak”ujarnya dengan sedikit dengusan kecil. Aku mengigit bibirku lagi. “lalu, kenapa sepertinya kau tidak suka padaku?”

"Bukan urusanmu”gertaknya, kali ini dengan intonasi makin membuat sekujur jantungku terasa jumpalitan turun keperutku. Kenapa dia tidak pernah jujur padaku, kenapa Justin selalu memperlakukan aku seperti ini. Aku tahu siapa aku sebenarnya. Aku hanya seorang gadis biasa, tidak cantik, tidak menarik, tidak seksi seperti siapapun.


“Sekarang pulanglah, jangan sampai Caroline melihatmu ada disini bersamaku”Dadaku tersentak begitu mendengar nama itu disebut oleh Justin. Rasanya ada setitik rasa ngilu yang menyebar didadaku, kian lama kian menjadi-jadi hingga rasanya sakit tak terkira dan membuatku sulit sekali bernafas. Satu nama itu. Caroline.


“Caroline? Dia ingin kesini?”

“Ya, dia ingin kesini..”Gelombang besar kekecewaan merekah didadaku. Sulit sekali untuk berpikir, mengatakan kepada Justin untuk menyadariku. Melihat keberadaanku disisinya. Pria itu lantas beranjak bangkit dari sisiku, dia berdiri dari posisi semulanya. Aku menengadah, melihat tubuhnya yang membentuk bayangan hitam akibat cahaya lampu yang bersinar didepannya. “Justin..”Aku kembali memanggil namanya, menahan tangannya untuk melangkah. Dia berbalik.


Aku ingin merasakan bagaimana dipeluk oleh Justin.


Aku berdesis kecil, lantas memeluk tubuhnya, meletakkan kepalaku didadanya. Justin sempat tersentak, terkejut atas aksiku yang begitu tiba-tiba. Aku mengigit bibirku sekarang, rasanya ingin menangis begitu mengetahui seperti ini rasanya bisa memeluk tubuh Justin. Begitu hangat dan nyaman sekali. Satu mimpiku tercapai sekarang, merasakan dekapan tubuh Justin. Aku merapatkan wajahku, mendengar detak jantungnya yang berdebur seirama, aku kembali menarik nafas berusaha mencium aroma tubuhnya sekarang yang wangi dan samar dengan sensasi membakar. Aku merasakan sekujur tubuhku begitu bergejolak dipenuhi emosi aneh nano-nano. Hingga aku merasakan air mataku menetes. Aku menangis sekarang, dan aku menangis karena Justin. Aku ingin lengan ini selalu mendekapku, kapanpun.


“Justin?”aku tersentak, langsung melepaskan tubuhku dari tubuh jangkung Justin begitu melihat seorang gadis cantik bertubuh seksi dan langsing berdiri dihadapanku. Caroline. Jeez. Aku menganga, bibirku sedikit terbuka dengan sepasang bola mata melotot terkejut sekarang. Justin langsung menggeleng cepat, melihat gadis itu yang kini menatapku tajam, tatapan keras dan memberi sebuah peringatan.


“Apa yang kau lakukan, little bitch!?”Tanyanya kearahku. Tangannya langsung mendorong tubuhku keras, hingga aku merasakan tulangku bergemeletuk menghantam semen lapangan yang keras. Aku mengerang ngilu. Caroline mengepalkan tangannya, membuat ligamen garis ototnya terkepal membentuk sebuah tinju. Aku mengigit bibirku kecil merasa terkejut nyaris mati saat ini. Justin tergeragap, sepasang bola matanya ikut mengerjap heran


“Carol-caroline”Suara Justin terdengar, menahan Caroline untuk kembali menatapnya. Gadis itu tersentak, menggeleng keras seolah merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku mengigit bibirku lebih keras lagi hingga menimbulkan bercak memucat dipermukaannya. “Caroline, listen me”Justin kembali sedikit berteriak. Tapi gadis itu sudah berbalik, menghempaskan tangan Justin untuk tidak menyentuhnya dan berlari menjauh. Aku menundukkan wajahku dalam merasakan seluruh tubuhku menjadi ngilu sekarang.


Justin mengerang, menarik rambutnya frustasi. Sepasang bola matanya kembali menatapku, kali ini lebih tajam dan ketus dan sanggup menciptakan maneuver keras dalam diriku. Tatapan itu…. Mengingatkan aku seperti kobaran api yang sewaktu-waktu dapat melahap habis apapun disekitarnya. “Shit!”dia mengumpat, menggeletukkan giginya geram, menggeleng kesal kearahku dan berbalik untuk ikut menjauh. Tungkai kakinya yang kuat kini berjalan melangkah menyusul Caroline. Aku diam, merasakan ada sesuatu berkelebat cepat didadaku. Rasanya… nyeri sekali. Aku termangu, menarik lututku, mendekap kakiku dengan kedua tangan dan menenggelamkan wajahku disana. Aku menangis, terisak dengan getaran birama penuh ambigu. Aku merasa bingung sekarang. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan.


**** 


Aku memandangi undangan prom night yang akan diadakan oleh sekolahku. Nanti malam. Aku mendengus perlahan membayangkan bagaimana jadinya aku datang kepesta. Aku akan dipermalukan atau dibully atau diolok-olok oleh Valeria atau Jack? Aku kembali menggeleng cepat. Sepertinya, keputusanku adalah aku tidak akan datang. Aku mengalihkan pandanganku melihat Justin. Dia sedang mengenggam undangan yang sama ditangannya. Jadi, apakah dia akan ikut kemalam prom night? Aku mengigit bibir lagi.


Ralat, sepertinya keputusanku untuk tidak ikut datang kemalam prom night kali ini sudah berubah. Aku-ingin-pergi. Setidaknya, aku akan berdandan dan tampil cantik dihadapan Justin. Aku menarik nafas panjang, kembali mengamati pergerakan langkah Justin sekarang. Wajahnya tampak murung. Apakah dia masih bertengkar dengan Caroline? Karena… aku, kemarin? Oh sial. Aku kembali merutuk dalam hati merasa betapa bodoh dan idiotnya aku. Aku sama sekali tidak bermaksud atau bertujuan untuk membuat Caroline marah pada Justin, tidak sedikitpun. Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya memeluk tubuh Justin. Hanya hal itu, tidak lebih.


Aku kembali mengigit bibirku lagi lantas tersentak begitu melihat Caroline sudah berdiri didepan mejaku. Tepat didepan meja kantin dengan sepasang bola mata menatapku berang, wajahnya memerah padam kali ini. Aku meneguk ludahku lagi sedikit terkejut setengah mati. Ekspresinya…


“Slut!!”dia menggertak keras, menjambak rambutku didalam jari-jemari tangannya, memilit, menarik dan memuntirnya dengan kuat. Aku mengerang kesakitan merasakan akar rambutku menjadi begitu ngilu. Jeez. Apa yang akan dia lakukan?


“Carol… lepas”aku sedikit gemetar, kesakitan. Gadis itu makin membabi-buta. Menjambak rambutku semakin gila dan sebelah tangannya yang bebas langsung mengangkat daguku secara paksa, menyuruhku untuk menatap sepasang bola matanya. Aku sedikit reflesk, menurut dan terkejut.


“Listen, seharusnya kau sadar diri. Kau itu hanya seorang gadis cupu dan hmm kau mau berhadapan denganku? Lantas berpikir bahwa Justin akan menyukaimu. Ewh? Mimpi..”Caroline kembali mengolok-olok diriku. Aku menggeleng kecil, berusaha menahan tangannya agar tidak makin menarik rambutku lebih kencang. Sepasang bola matanya kembali menohokku tajam, seperti bilah mata silet. Menciptakan sebuah manuver keras untuk menyudutkanku disebuah tembok yang keras.


“Lepaskan aku, Carol!”Aku sedikit berteriak, bola mataku berkaca-kaca begitu gadis itu tertawa puas kearahku. Wajahnya benar-benar kentara sekali sedang meremehkanku sekarang, menyudutkan diriku dan menjebakku lagi dalam keadaan paling memalukan. Ditempa yang laping dalam dan gelap. Beberapa pasang mata kembali menatapku penuh desisan, menertawakan keadaanku kali ini. Apa yang salah dariku? Apakah seorang gadis cupu sepertiku tidak boleh menyukai Justin? aku ingin berteriak sekarang, tapi rasanya tidak bisa. Aku merasakan tenggorokanku sedikit tercekat hebat.


Carol langsung melepaskan tangannya dari rambutku. Aku terhenyak, merasakan sekujur kepalaku terasa nyeri dan ngilu dalam waktu bersamaan seakan ada sesuatu menusuk-nusuk kulit kepalaku tajam. Seperti ada tanaman sulur yang merambat dan mengikat disekujur helaian rambutku sekarang. Aku terisak, bibirku gemetar berusaha menahan air mata yang terasa tercekat keras dikerongkonganku. Aku merasakan jantungku mencelos, ingin turun menuju kemata kakiku sekarang. Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti ada apa dengan mereka. Aku mengigit bibirku lagi, merasakan bibirku terasa asin dan sedikit manis asam sisa-sisa dari croissant yang sedang aku cicipi. Aku melihat jemari tangan Caroline yang mulus menyentuh ujung gelas orange juice yang ada didepanku, pesanan yang tadi aku beli dikantin. Dan detik selanjutnya, aku merasakan isi dari orange juice didalam gelas itu dengan sempurna mengguyur tubuhku.


Rasa dingin, lengket dan membeku kini menyatu membasuh permukaan pori-pori kulitku. Aku kembali mengigit bibirku lebih keras dari tadi. Aku ingin menangis sekarang. Caroline tertawa keras. Beberapa orang yang ada disitu ikut menatapku. Menatapku dengan intens, penuh olok-olok. Rasanya, aku begitu malu saat ini. Mungkin, aku sangat mengharapkan sebuah helm kegelapan milik dewa Hades yang mampu menyembunyikan tubuhku menjadi transparan tidak terlihat. Aku begitu kelu, seakan aku sudah berubah menjadi sebuah mannequin yang tidak dapat bergerak, yang selalu dipandangi oleh berbagai pasang mata.


Air mataku kembali lepas landas, meluncur membasahi wajahku. Mengguyur bersamaan dengan sisa-sisa air orange juice yang menempel dikedua pipiku. Aku mengerjapkan sepasang bulu mataku lagi merasa bulu-bulu rambut tipis itu terasa lengket diwajahku. Punggungku bergetar, aku lantas beranjak bangkit dari atas kursi kantin dan berlari meninggalkan mereka semua. Langkahku begitu kalut. Aku berlari menuju kekamar mandi. Mungkin, dengan berdiri didepan cermin. Memandangi wajahku. Menyadari semua kekonyolanku. Ketidakberdayaanku dihadapan mereka semua.


Apa aku salah jika aku mencoba untuk menyukai Justin? itu tidak salah, kan? Apakah cinta memang begitu dipaksakan. Maksudku, apakah cinta mempunyai sebuah larangan? Larangan untuk menyukai pria tampan dan berbakat seperti Justin. Jika gadis lain seperti Caroline atau Valeria saja bisa mendekatinya. Mengapa tidak denganku? Apakah ada pengecualian terhadapan gadis cupu dengan selera fashion buruk sepertiku. Aku tahu, aku memang tidak mempunyai sepasang paha mulus yang jenjang saat memakai hotpants seperti Valerie. Aku mendorong pintu toilet sekolah dengan ujung bahuku. Sepi, tidak ada siapapun disana. Aku langsung berlari menuju wastafel, membasuh wajahku yang lengket dengan air keran yang kuputar.


Aku terisak, masih tetap menggigit bibirku hingga menimbulkan bilur memucat disana. Aku kembali mengerjapkan mataku merasakan titik-titik air itu menyerap disekitar kulit wajahku memusnahkan rasa gusar dan gelisah yang sejak tadi menghantui perasaanku. Tapi, hatiku masih gundah sekarang. Rasanya, aku ingin berteriak pada mereka. Aku ingin menegaskan pada Caroline. Aku ingin mengatakan perasaanku pada Justin agar dia tahu bahwa aku disini… dia tidak pernah menyadari keberadaanku, kurasa. Aku kembali mengangkat wajahku, menatap pantulan diriku dicermin datar wastafel sekarang.


Semuanya salah. Aku mempunyai wajah cantik seperti Caroline. Aku cantik. Aku cantik. Aku tidak buruk. Aku bukan gadis cupu, berulang kali aku menegaskan pada diriku. Aku kembali menggeleng cepat berusaha mengusir sekelebat bayangan buruk yang menggangguku. Aku kembali mendesah lagi lantas menatap sepasang bola mata biruku. Aku akan tampak menawan tanpa kacamata ini. Aku kembali melepaskan kacamata yang menghalangi sepasang bola mataku. Aku melihat bayangan samar gadis didepan cermin. Lantas, satu tanganku yang bebas kembali melepas ikat rambut yang mengikat helaian rambutku hingga rambut yang semula diikat satu butut kuda itu langsung tergerai bebas sekarang. Aku mempunyai rambut ikal kecoklatan yang menawan. Aku cantik, alami. Aku cantik seperti Caroline. Aku cantik seperti Valerie. Tapi, sedetik berikutnya aku kembali memakai kacamataku dan mengikat rambutku lagi. Aku merasakan tetesan hangat mengalir dipipiku.


Aku tidak bisa seperti mereka
sampai kapanpun.



****



Aku berdiri sembari mengigit kuku-kuku jariku yang dipoles kuteks berwarna pink pucat bercampur warna cream magenta hingga cat minyak yang semula terlihat mengkilat dijariku kini sedikit memudar dan lecet akibat gigitan dari gigi-gigiku. Aku kembali mengatur detak jantungku yang terasa berdenyut sekarang, berdengung memenuhi seluruh nadiku.

Aku sudah menggunakan gaun berwarna pink pucat yang memperlihatkan pahaku yang putih dan jenjang. Aku kembali mengamati wajahku dicermin, memandangi hasil karya Bonnie. Dia, adalah salah satu temanku disekolah. Kau tahu mengapa dia bisa sepintar ini dalam merias diri? Karena cita-citanya adalah menjadi seorang terapis kecantikan atau setidaknya mampu membuka salon terkenal di Washington DC. Aku kembali menarik nafas panjang, merasakan oksigen yang menyatu dalam udara kini terhisap mengisi gelambir paru-paruku yang terasa sesak nyaris menyusut. Aku kembali berjalan, berusaha terlatih menggunakan higheels versada setinggi 5senti. Setidaknya, tadi Bonnie sempat memberiku wedges berukuran hak 12 senti dan sudah jelas aku menolaknya.


Aku menunduk merasa tidak percaya diri sekarang. “Libby, kau sangat cantik!”suara Bonnie kembali berteriak. Aku mengangkat wajahku menatapnya yang kini sudah tampak fashionable dengan gaun berwarna ungu dengan taburan manik-manik Kristal Swarovski di kain lembut gaunnya. Aku kembali tersenyum lantas mengalihkan sepasang bola mataku kearah cermin. Aku kembali memandangi sepasang bola mataku yang memakai softlens senada dengan warna bola mata asliku. Biru muda terang, seperti warna air laut atau seperti warna langit saat musim summer. Warna mata yang sama dengan milik momku. Bonnie juga memakaikan bulu mata palsu yang lentik seperti bulu mata angsa, maskara dibawah kelopak mataku dan sedikit blush on tipis dipipi. Penampilanku.. kali ini begitu mengingatkan diriku pada sesosok Barbie.


“Justin pasti akan suka denganmu”Deg. Begitu Bonnie mengatakan kata-kata itu, aku merasa ada sesuatu yang mengalir cepat kedalam darahku rasanya… begitu dahsyat dan gentar. Aku meneguk ludahku lagi berusaha menguasai emosi dan perasaanku sekarang. Tidak, itu tidak mungkin Bonnie. Aku nyaris menggeleng lagi lantas mendesah.


“kita berangkat sekarang… Bonnie”ujarku lagi kali ini dengan suaraku nyaris tidak terdengar, sedikit serak dan menggempal seolah sedang menahan sebuah perasaan yang bergejolak dalam diriku. Gadis itu kembali mengangguk lantas mulai berjalan mendahuluiku, keluar dari dalam kamar. Bonnie langsung masuk kedalam sedan Lamborghini yang terparkir dirumahnya, dengan satu supir yang mengendarai mobil itu. Aku ikut masuk kedalamnya. Suasana dingin dan sejuk langsung menyergap punggungku yang sedikit terbuka akibat udara didalam mobil yang begitu membeku.


Aku kembali memutar pandanganku kearah jendela, menembus kaca tipis didepanku. Memandangi langit yang terlihat gelap diterangi bintang-bintang dan lampu jalan yang beruas-ruas berdiri menyelimuti jalan raya. Anganku terbang lagi. Membayangkan, bagaimana tampannya Justin malam ini. Dan, memimpikan saat aku menjadi seorang queen dimalam promnight berpasangan dengannya. Mungkin, akan menjadi salah satu mimpi terindah dalam hidupku. Ya, aku katakan bahwa itu semua hanya mimpi dan selamanya hanya akan menjadi ilusi. Justin tidak akan mau berdansa denganku, iyakan?


Aku hanya seorang gadis cupu, yang selalu diolok-olok, yang selalu tampak aneh dengan kacamata dibatang hidungku. Tapi aku berbeda malam ini. Aku berusaha untuk menghilangkan kacamata itu dari bola mataku untuk malam ini. Aku sengaja menggerai rambutku, aku sengaja sekali memakai gaun indah sekarang. Untuk Justin, untuknya. Dan aku sama sekali tidak membayangkan bagaimana cantiknya Caroline dan Valerie malam ini. Mereka yang selalu mendapat gelar queen selama dua tahun berturut-turut, saling bergantian. Dan kali ini adalah tahun terakhir dimana aku bisa merayakan malam prom night sebelum berakhirnya masa Senior High School-ku, tepat pada musim dingin menjelang nanti. Artinya, aku harus berpisah dengan Justin dan melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi.


Aku tersentak setelah menyadari berapa lama aku melamun dan mobil mewah itu sudah memasuki sebuah gedung mewah yang terlihat ramai dengan diisi wajah-wajah tak asing, sangat familiar dibenakku. Aku kembali membasahi bibirku merasakan ada sesuatu yang berminyak dan manis disana. Mungkin, ini adalah rasa lipgloss strawberry milik Bonnie. Aku merasakan Bonnie menepuk pundakku. Aku kembali memutar wajahku, menatapnya yang memberi isyarat untuk turun. Jeez. Aku-merasa-gugup-sekarang. Aku mengalami takardia saat ini, merasakan bahwa detak jantungku terasa berdetak cepat dan tidak beraturan lantas sesekali jumpalitan nyaris turun keperutku.


Aku mulai turun dari dalam mobil, turun melangkahkan kakiku diatas karpet merah yang melintang didepan gedung rasanya aku seperti berada disebuah acara awards dengan red carpet sebagai penghormatan. Aku mulai berjalan, melangkah bersama dengan Bonnie dan kali itu juga merasakan beberapa pasang mata terarah intens kearahku. Ya, kearahku. Bukan kearah Bonnie. Apakah aku menarik perhatian mereka? Aku kembali mengigit bibirku untuk kesekian kalinya, merasakan rasa lipgloss itu memudar karena aku terlalu banyak membasahi permukaan bibirnya.


Dan, puluhan pasang mata itu makin terarah jelas sekali seolah aku adalah seorang artis yang datang dan begitu membuat mereka terpesona. Aku mendengar beberapa cowok bersiul kearahku, menatapku jelas. Wajahku memerah semu sekarang. Bonnie mendekat, dia melangkah disisiku dan menempelkan bibirnya untuk mendekat “See? Mereka terpesona denganmu”bisiknya. Aku merasakan sekujur tengkukku seperti digigiti semut pengigit. Rasanya geli sekali. Baru pertama kali menjadi sumber perhatian seperti ini. Aku berusaha menarik senyumku sekarang.


“Kau Libby, kan?”Aku terhenyak mendengar suara seseorang memanggilku. Aku memutar bola mata biruku melihat Jack sekarang berdiri disisiku. Aku mengangguk, sepasang bola matanya menatapku kembali menjelaskan bahwa dia tidak percaya bahwa aku adalah seorang Libby yang biasanya tampil cupu. Ya, seorang gadis yang selalu dia remehkan didepan Justin.


“You’re so beautiful..”ujarnya, tanpa nada olokkan, mencela atau menyindir seperti yang sering dia lakukan padaku. Aku kembali tersenyum, mengangguk lagi dan kembali berjalan masuk kedalam pintu gedung. Semua orang sudah tampil glamour didalamnya. Aku mengangkat wajahku, berusaha menemukan Justin. Dimana dia, sekarang? batinku mendelesak. Aku ingin melihat Justin, bagaimana tampannya dia… malam ini. Aku memutar bola mataku cepat. Pandanganku menerobok, menembus beberapa orang yang membentuk pleton dan barisan. Dan bola mataku lantas langsung berhadapan dengan sosok itu.


Itu dia.
Justin.
Dia…tampan.

Batinku berdesis lagi, sedikit terkesiap dengan bola mata mengerjap melihat dia sedang berdiri dengan mencicipi red wine, dan dia benar-benar rupawan. Justin begitu tampan sekali. Aku kembali meneguk ludahku, cepat. Merasa jantungku berdebar lebih keras dan lebih kencang lagi. Rasanya, aku selalu merasakan perasaan ini disebelahnya. Ini heran. Justin sedang berdiri sendirian disana, aku tersenyum lantas melangkah cepat ingin menghampirinya.


Stop. Aku langsung menghentikan kakiku berhenti melangkah saat melihat Caroline sedang mendekat dan mengecup singkat pipi Justin yang mulus dan terawat sempurna, aku tersentak merasakan ada sesuatu yang menyayat hatiku sekarang. Gadis itu mengalungkan lengannya dilengan Justin. Aku merasakan ada sesuatu yang panas terasa mengaliri dadaku. Caroline tolong pergi. Beri aku satu kesempatan untuk menemui Justin, sekali saja. Lantas, gadis itu mengusap telapak tangannya diwajah Justin. Kenapa rasanya dia begitu beruntung. Aku ingin merasakan aroma tubuh maskulinnya, merasakan bagaimana sensasi hangat menyebar dalam tubuhku saat lengannya yang kokoh berusaha melindungiku didalam dadanya. Tapi ini tidak mungkin. Aku kembali mengigit bibirku lagi, merasakan bahwa sepertinya air mataku akan menetes sekarang. Tolong jangan menangis Libby.


Jangan menangis, sekarang.


“Libby, mau dansa denganku?”suara seseorang yang sepertinya familiar langsung mengalihkan bola mataku dari Justin. Aku mengangkat wajahku, menahan air mata yang sejak tadi nyaris menetes dan sepertinya akan membuat maskaraku menjadi luntur parah. Aku mengerjap, agar sepasang bola mataku tidak memerah sekarang dan melihat Jack berdiri disebelahku. Tunggu, apakah ini benar-benar Jack? Dan dia mengajakku berdansa?


Dia menjulurkan tangannya ingin agar aku mengambit telapak tangan kanannya itu. Aku menunjukan seraut ekspresi kikuk merasakan berbagai pertanyaan mendelesak benakku saat ini. Aku sama sekali tidak menunjukkan ekspresi olokkan, mencela atau meremehkan kepadaku bahkan keterbalikan dari semua itu. Dia seakan terpesona… padaku. Itu benar-benar dia, kan? Aku merasa tidak begitu yakin sekarang.


“kau cantik sekali, Libby”dia berbisik, menarik tubuhku untuk mendekat kearahnya saat telapak tanganku sudah terjulur untuk mengenggam tangannya. Aku sedikit terhenyak merasa heran dan gentar kali ini saat sensasi dingin hembusan nafasnya berusaha menggeliat dalam lubang telingaku. Jack mengayunkan tangannya, meletakkan sebelah tangannya melingkar dipinggal mungilku sementara sebelah jemarinya yang bebas mengenggam telapak tanganku erat. Aku terhenyak, saat sepasang bola mata cokelatnya berusaha menatapku dalam dan misterius. Sial. Aku meneguk ludahku, merasakan semburat merah menyembul dipipiku sekarang walaupun aku sama sekali tidak mendengar detak cepat berdebur nyaring dijantungku untuk detik ini. Mungkin, aku akan merasa berdebar saat berada didekat Justin. Mungkin saja.


Musik mulai mengalun, nada musik klasik yang biasa dimunculkan saat festival Shakespeare yang rutin diadakan di Kanada. Aku terhanyut merasakan nada-nada biola yang ritmis dan mampu menimbulkan getaran kecil didadaku. Jack mengayunkan kakinya dengan anggun. Aku berusaha menyeimbangkan langkahnya sekarang, jika boleh jujur aku tidak bisa berdansa. Aku sama sekali tidak mempunyai pengalaman yang baik dalam menari. Aku tidak mampu menguasai gerakan apapun. Aku bodoh sekali, ya? Ini memalukan. Aku kembali menguasai diriku untuk tetap mengikuti langkah kaki Jack.


Tapi tetap tidak bisa, rasanya aku begitu terburu-buru dan nyaris menginjak sepatunya bahkan higheelsku sendiri begitu berusaha untuk mundur dan maju beberapa kali. Aku memutar sepasang bola mataku. Menatap Justin, dia sedang berdansa dengan Caroline. Mereka romantis. Ada sisi iri dalam hatiku seperti muncul saat ini begitu melihat gadis itu bisa menyandarkan kepalanya didada Justin, mendengar debaran jantungnya kali ini. Seharusnya aku yang ada disana, merasakan kehangatan sensasi dari Justin. Seharusnya aku, bukan Caroline.


Aku membasahi bibirku yang terasa kering, melihat Justin merangkaikan jari-jarinya diantara jalinan jemari halus Caroline. Ada sisi yang tersayat dalam hatiku seakan berusaha untuk berteriak, aku merasakan jantungku nyaris menciut saat ini. Rasanya begitu sesak, aku begitu sulit bernafas sekarang. Aku memutar pandanganku lagi untuk menatap Jack. Bola matanya masih menatapku, kali ini sedikit tersenyum namun jenis senyum yang sangat berbeda dari tadi. Jenis senyum yang mengingatkan diriku pada Jack yang suka mengolok-olokku lagi. Jack makin mempercepat langkahnya, aku ikut mengikuti gerakan mahirnya dan sangat sulit untuk menyeimbangkan atau melaraskan gerakan dia saat ini.


Aku merasa kakiku sedikit terpelintir, beberapa kali tidak sengaja menginjak sepatunya diiringi erangan gaduh dari bibir Jack. Aku memintar maaf, dan Jack mengangkat lengannya keatas membuat tubuhku berputar. Dia terus melakukan itu hingga membuat duniaku berputar sekarang. Dan kembali menangkap tubuhku, langkah kakinya kini makin cepat. Sesekali maju, mundur, menyamping, kebelakang, begitu cepat… seperti tempo piano beberapa ketuk. Aku sedikit gusar kali ini, Jack menyeringai lagi. Kakiku langsung terkilir sekarang, aku mengigit bibirku merasakan tulangku bergemeletak seperti dipelintir keras saat kakiku berusaha menyelaraskan gerakan cepatnya dengan menggunakan higheels tinggi.


Jack kembali tersenyum tipis. Aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Hingga akhirnya aku merasakan bahwa dia mengajakku kebagian tengah, tepat ditengah sorotan lampu laser mengarah. Aku lihat rona wajahnya jauh berbeda. Dia tertawa puas, meremehkan diriku lagi dan dengan cepat langsung melepaskan tangannya dariku hingga aku terjatuh ditengah-tengah orang yang sedang berdansa, aku merasakan bokongku menghantam karpet sutera merah yang lembut namun sangat tebal dan cukup sakit membuat sekujur tulangku seperti digigit keras. Aku mengerang, tidak bisa bangkit merasakan kakiku terkilir sekarang.


Lampu itu jelas sekali mengarah kearahku, alunan klasik yang tadi mengalun dramatis langsung berhenti dan membuat ratusan pasang mata yang sedang menikmati dansa tadi langsung ikut menghentikan aksi mereka dan memutar bola matanya kearahku. Aku mengigit bibirku, merasakan sesuatu mencekat tenggorokanku dengan keras. Sebagian tertawa, ruangan itu penuh tawa riuh yang sangat mengolokku. Begitu tidak asing untukku, kurasa itu semua sudah biasa dan familiar sekali bagiku. Aku mengangkat wajah menatap mereka. Ya, mereka tertawa untukku. Meremehkanku yang sangat tolol ini. Aku merasa begitu pengap. Tidak bisa bernafas.


Kelopak mataku memanas, merasa sedikit basah dan lembab. Aku mengerjapkan bulu mataku yang dipasang bulu mata palsu beberapa kali berusaha untuk menahan air mata itu agar tidak menetes keluar sekarang.

“kukira, acara ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang bisa berdansa dengan baik… dan kau tahu, prom night sama sekali tidak cocok untukmu Libby”aku mendengar suara Valerie mencelos diantara gema tawa riuh yang dominan menguasai suasana. Aku mengigit bibirku keras, berusaha untuk berdiri dan sedetik berikutnya aku kembali terjatuh merasakan tulang dikakiku benar-benar terkilir.


Semua ini karena Jack. Aku kira dia telah berubah, ternyata tidak sama sekali. Dia masih tetap berusaha mempermalukan diriku. “sebenarnya, aku hanya kasihan melihatmu sendirian tanpa ada seseorang yang mau mengajakmu berdansa lantas dengan sedikit rasa iba aku memutuskan untuk berpasangan denganmu..”Jack mencetus, bola mata cokelatnya menatapku penuh tawa puas. Aku merasakan hatiku ingin jatuh keperut sekarang, rasanya aku ingin berlari dan melepaskan semua yang aku pakai malam ini. Semua tidak ada gunanya, aku akan selalu tampak aneh dihadapan mereka. Aku selamanya akan menjadi Libby yang cupu. Aku tahu, itu.


Air mataku menetes, merasakan sepertinya semua tidak adil padaku. Kenapa Caroline atau Valerie tidak pernah diolok sepertiku? Kenapa justru mereka yang selalu berhasil mengolokku, bagaimana rasanya jika bertukar posisi. Saat aku ada diposisinya dan mereka berdua ada diposisiku. Merasakan, terduduk lemah tak berdaya, ditatap penuh olokkan dan ditertawakan dengan bodohnya. Air mataku menetes lagi, merembes menghancurkan sisi kuat dalam diriku.


Aku tidak bisa bertahan lebih lama disini.

Aku kembali bangkit, tapi rasanya tulang kakiku begitu tidak mendukung sekarang. Aku mengigit bibirku, benar-benar menangis kali ini dengan maskara yang luntur. Blush on memudar dan make-up hasil karya Bonnie sudah hancur berantakan. Aku tidak peduli. Untuk apa aku berdandan? Atau tampil cantik malam ini jika tidak ada seseorang pun yang melirikku. Setetes air mata bergulir pelan, membasahi pipiku. Aku mengerjap, begitu merasakan telapak tangan hangat menyentuh wajahku sekarang, mengusap air mata yang melembab disana. Ada sensasi wangi familiar dihidungku begitu tubuh itu mendekat. Aku mengangkat wajahku, melihat Justin berdiri didepanku sekarang.


Dia kokoh.
Dia tampan.
Dia berkarisma.


Begitu mengingatkan diriku pada seorang pangeran dalam kartun dongeng Cinderella, dan dia jauh lebih sempurna dari itu. Justin menatap sepasang bola mataku intens membuat sekujur perutku jumpalitan sekarang. Aku berusaha untuk tidak percaya. Aku tahu, ini ilusi dan tipuan agar aku merasa sedikit bahagia. Aku melihat tubuhnya makin mendekat dan lengannya yang kokoh mulai mendekap pinggangku lantas membantuku berdiri. Aku meneguk ludahku tiba-tiba, saat aromanya menyelimuti diriku.


“kau terlihat bodoh jika menangis saat ini dihadapan mereka”Justin mendekatkan bibirnya, berbisik kecil ditelingaku. Aku tersentak. Berarti ini nyata, ini bukan mimpi. Aku bisa merasakan sensasi geli berupa hembusan nafasnya yang lembut berusaha menelisik lubang telingaku.


Dia mengangkat tubuhku kedalam dekapannya, meletakkan lenganku melingkar sempurna dilehernya. Aku bisa mencium aroma samar dari tubuhnya, begitu jelas. Tangannya yang mencekal pinggulku menimbulkan gelombang nyaman menerjang diriku sekarang, meliukkan diriku berputar dalam ilusi. Dia membawaku untuk meninggalkan tempat itu, sementara aku bisa merasakan suara gema tawa riuh yang tadi memantul perlahan-lahan menghilang, menjadi samar seperti gumaman dan berubah begitu hening tanpa suara. Sebagian menatapku dengan tatapan tidak percaya.


Justin membawaku menjauh dari tempat itu, masih tetap begitu rapat disisinya. Dia membawaku kesebuah tempat kosong didalam gedung, dengan dinding dilapisi sutera lembut, ruangan itu luas, dengan satu panggung bertirai merah diujung sudut. Sepertinya, ini adalah salah satu tempat dimana drama musikal sering diadakan.


ustin membawaku masuk, lampu yang semula terlihat gelap langsung berubah menjadi sedikit lebih samar berwarna diterangi warna lembut oranye seperti senja yang muncul dari lampu besar Kristal menggantung ditengah ruangan. Suasananya sangat hening dan sunyi, sangat berbeda dari ruangan tempat dimana para siswa berkumpul merayakan prom night. Hingga suara riuh mereka nyaris menyerupai gumaman dan bisikkan kecil disini.Dia membawaku untuk duduk disisi ujung panggung. Aku begitu gugup kali ini, heran dan sedikit bingung apa yang semestinya aku lakukan.

“angkat kakimu”ujarnya menatapku dingin. Aku tersentak, memutar bola mataku kearahnya. Justin kembali mendengus, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa puas melihat wajah tampannya dari dekat.

“maksudku, aku akan mengobati kakimu yang terkilir”tukasnya lagi lantas mengangkat betisku perlahan-lahan dipaha kokohnya. Aku berusaha untuk menarik bafas sekarang sembari sedikit mengangguk kecil, Justin mulai memijit kecil betisku. Merasakan sensasi tangannya yang hangt membuat kulitku nyaman. Aku menatap tangannya, sesekali mendengar deru nafasku menggebu. Selama tiga menit, Justin lantas menurukan kakiku untuk kembali berpijak diatas karpet sutera ruangan teater musikal ini. Sepasang bola mata karamelnya menatapku dengan alis tebal nyaris menyatu.


“sekarang berdiri. Apa sekarang masih sakit?”lanjutnya lagi, aku tergeragap dan mengangguk mengerti. Sepertinya, seluruh otakku sedang diperintah sekarang. Aju berdiri, menginjakkan kakiku diatas karpet, merasakan tungkai kakiku berpijak diatas hak higheels. Dan berjalan, aku tersenyum lagi mengarahkan bola mata biruku kearahnya.


“I feel better then”aku menarik ujung senyumku tipis. Justin mengangguk lagi, sepasang bola matanya masih terus menatapku membuat kakiku terasa gemetar sekarang. membayangkan bahwa tatapannya sewaktu-waktu dapat melumpuhkan syaraf tubuhku mati rasa. Dan, dia bangkit. Tubuh jangkungnya menjulan didepanku, mendekat lagi menimbulkan sensasi membakar menyerbuku beberapa kali. Jeez. Dia..sempurna.


“mau aku ajari cara berdansa dengan benar?”tanyanya mendekat. Aku tersentak, mengerjap dan berdeham heran. Justin mendengus lantas menarik tanganku paksa. Mau tidak mau, dia sudah mengenggam telapak tanganku sekarang dan begitu membuat diriku heran. Apa yang semestinya aku lakukan. Justin langsung menarik tubuhku, untuk merapat dengannya, berhadapan dengan tubuhnya yang selalu aku anggap sebagai mimpi. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan bisa sedekat ini dengannya. Merasakan sentuhan tangannya, dekapannya yang nyaman atau aroma tubuhnya yang memabukkan.

“ikuti gerakanku… Libby”dan akhirnya, dia menyebut namaku untuk pertama kali. Aku makin risau, sepertinya aku tidak sia-sia untuk berias kali ini.. karena Justin mau mendekat denganku.




**** 



Aku sudah kembali kesekolah sekarang. Benar-benar tidak bisa melupakan kejadian semalam. Saat Justin mengajariku berdansa dengan trik sangat sempurna. Dia, sepertinya sangat cocok untuk menggantikan peran pangeran untuk Cinderella dalam imajinasiku. Untuk sementara, berhasil mengenyahkan seluruh kepingan ingatan aneh dibenakku. Sejak tadi malam, aku tidak lagi memikirkan tentang apapun. Hanya Justin, kupikir. Aku kembali tersenyum saat beberapa pasang mata yang menatapku kemarin dimalam promnight kini ikut menunjukkan ekspresi itu begitu melihatku pagi ini.


Aku mengira, akan benar-benar mengubah diriku. Aku mengira bahwa Justin akan menyukaiku seperti dia menyukai Caroline atau Valerie. Aku tidak mau dipandang remeh lagi, aku ingin dia melirikku. Seperti kemarin malam saat aku berdandan dengan cantik. Jadi, kupikir dengan penampilan ini sepertinya dia akan benar-benar memandangku. Rasanya, sakit sekali begitu membayangkan bahwa orang yang aku sukai ternyata tidak menyukaiku-bahkan-membenciku. Aku melihat Caroline ikut menatapku sinis. Aku begitu berubah sekarang, dengan rok sekolah yang aku potong dan sengaja diketatkan menunjukkan siluet pahaku dengan panjang beberapa senti diatas lutut. Sementara Rambutku digerai curly.


Aku melangkahkan kakiku masuk kedalam lapangan pertandingan basket. Justin akan tampil bermain hari ini. Kembali bertanding, aku kembali menenteng kotak makan ditanganku. Lantas mengambil langkah untuk duduk dideretan kursi paling depan. Aku ingin agar dia bisa menatapku lebih jelas. Atau, melihat perubahanku. Suara penonton membahana, bertepuk tangan saat melihat Justin berdiri ditengah lapangan. Aku memutar bola mataku, menatap dirinya dari kejauhan. Dia menatapku, aku terkejut begitu melihat tidak ada pandangan tertarik dia tunjukkan saat melirikku.


Apakah dia memang sama sekali tidak ingin menatapku? Tidak, Libby percayalah. Justin akan menyukai semua ini, batinku berdesis. Aku mengangguk lagi lantas mengarahkan tatapanku memicing kearah lapangan basket melihat beberapa pemain sudah berkumpul dan ikut melihat Jack disana. Rasanya, jika melihat dia aku begitu merasa kesal. Dia yang mengolokku kemarin, membuatku malu dan menangis. Para pemain yang sedang berbincang kecil itu, dalam beberapa detik langsung menyiapkan ancang-ancang. Aku sama sekali tidak memindahkan pandanganku dari Justin, tidak sama sekali. Seakan aku adalah sebuah CCTv yang terus menyorotnya.


Start. Suara peluit wasit melengking, memecah menggaung kedalam gedung indoor. Suara pantulan bola beradu dengan bisingan riuh para supporter. Aku merasakan gelombang aneh menyelinap diriku. Jack berhasil meraih bola, mendribble beberapa kali, melakukan gerakan pivot, lantas gerakan mengelabui lawan. Dia melirik Justin, memberi kode untuk menerima lemparannya. Jack melempar bolanya kearah Justin. Pria itu merebutnya, ingin melempar bola kedalam ring namun gagal karena seorang lawan berhasil merebut bola itu. Aku kembali memiringkan wajahku terkejut. Tidak mungkin, Justin tidak bisa dikalahkan. Kenapa dia tidak bersemangat hari ini.


Nol besar. Tim Justin tidak mencetak skor apa-apa. Sementara tim lawan sudah mencetak 1 skor. Jeez. Apa yang terjadi? Aku menggeleng cepat, berdiri bangkit dan berteriak memberinya semangat. Justin-harus-menang. Aku meyakini dalam hati, tidak bisa melepaskan bola mataku darinya.


Justin pasti akan menang.


Aku bertekur dua kali. Dia akan menang, aku yakin. Aku mengigit bibirku merasa kalut sekarang saat seorang lawan nyaris mencederai Justin. Ya ampun. Ada apa dengannya? Sebuah bola meluncur, masuk kering tim Justin dan tim lawan mencapai skor 2.


Sementara tim Justin; Nol besar. Bola basket meluncur lagi, menghantam kening Justin keras, pria itu sedikit tersentak, nyaris terjatuh limbung jika saja Jack tidak ada dibelakangnya. Sepertinya, Justin tidak konsentrasi. Aku meringis. Mengigit bibitku makin keras lagi begitu merasakan kekalutan menyergapku cepat seperti hembusan angin. Tapi sepertinya dia benar-benar tidak mau kalah, Justin kembali memberikan serangan cepat. Dan tim lawan berhasil mengelabuinya, menangkisnya. Menciptakan satu gol baru.


Tim Justin kalah telak. Untuk pertama kali. Aku tahu ini tidak mungkin. Apa sesuatu memang sedang terjadi dengan Justin yang sangat biasanya begitu dihandalkan, dia sedang tidak fokus hari ini. Suara peluit wasit terdengar, menghentikan permainan bersamaan diakhiri dengan suara para supporter yang kecewa. Aku kembali mengerjapkan mataku melihat Justin diujung lapangan, berdiri dengan ekspresi frustasi. Aku langsung berdiri, lantas melangkah untuk kembali mendekatinya.


“Justin..”aku tercekat, melihat Justin tidak pernah sedemikian rupa. Dia membingungkan. Aku melangkah untuk merapat lagi, merasakan aroma tubuhnya yang samar dengan keringat dan aroma maskulin khas laki-laki. Aku bingung, apa yang semestinya aku lakukan sekarang. Melihat Justin yang merasa bersalah sekarang.


“aku membawakanmu makanan”Akhirnya, aku berusaha menarik senyum dan memberikan kotak makan milikku kearahnya. Dia mengangkat wajah, menengadah, memutar bola matanya melirik kotak ditangannya dan beringsut secara perlahan ikut mengamati diriku lagi. Tapi kali ini, dia menatapku dengan pandangan penuh sirat ketidak-sukaan, benci atau muak. Justin mengambil kotak makan itu dari telapak tanganku, lantas melemparnya kelantai lapangan hingga isinya berhamburan keluar, croissant didalamnya berhamburan jatuh.


Aku terhenyak. Justin menatapku tajam, aku gemetar melihatnya.

Merasakan seakan tatapannya marah dan ingin menyudutkanku sekarang. Sekujur uratnya menyembul dari balik permukaan kulitnya saat dia berusaha mengepalkan tangannya membentuk tinju. Aku mundur beberapa langkah, begitu terkejut dengan Justin saat ini. Rasanya.. seperti sesuatu menghantam kepalaku dengan kuat.

“jangan dekati aku”dia bersuara ketus dengan suara dingin dan tajam. Aku kembali tersentak kuat merasakan sekujur dadaku dialiri bahan timah panas. Rasanya, paru-paruku mampu ditembus oleh sebuah peluru yang meluncur dair sebuah pistol revolver dengan asap yang membuat pleuraku menciut kali ini.


Tidak mungkin. Justin, apa yang terjadi.

Aku bertanya dalam hati. Berusaha mendelesak benakku sendiri, menguasai diriku untuk tidak menangis.“Tinggalkan aku, sekarang”gertaknya lagi lebih tajam. Bibirku terasa gemetar, berusaha menahan gejolak yang berdesir dalam diriku kali ini. Aku menatap sepasang bola matanya yang meletup seperti magma. Demi tuhan, apa yang terjadi dengannya..



“Aku bilang, pergi dan tinggalkan aku.. sekarang!”suaranya begitu tegas, mampu membuat diriku menjadi keras dan membatu. Aku memundurkan langkahku merasakan bola mataku berkaca-kaca sekarang. Aku terisak, mengigit bibirku lebih keras, menatapnya dengan pandangan tidak percaya. “apa yang salah denganku? Aku hanya ingin membawakanmu makanan… hanya itu”



“Semua, semua salah. Dan sekarang, kau pergi dari sini. Aku tidak ingin melihatmu sekarang “ujarnya lebih tajam dan menohok. Aku merasakan ada aliran listrik menyengat jantungku, menimbulkan sengatan tajam disana. “apa aku menganggumu?”tanyaku lagi. Justin makin menatapku tajam, menciptakan maneuver yang mampu membuatku mati mendadak. Dia diam, tidak menjawab. Tapi dari tatapannya, aku sangat yakin bahwa dia terganggu dengan kehadiranku. Dia tidak suka aku disini. Dia benci diriku, Justin tidak menyukaiku. Aku seharusnya tahu dan sadar itu, aku ingin menertawai diriku sendiri rasanya. Mengatakan bahwa betapa bodohnya Libby itu.



Aku tidak sanggup lagi untuk bersuara atau menggerakaan tubuhku, aku merasakan sekujur kelopak mata dan tenggorokanku sudah dipenuhi air mata. Aku langsung berlari, aku meninggalkan Justin. Aku berbalik, memutar tubuhku untuk cepat pergi dari lapangan basket itu. Mungkin, dia tidak menyukaiku. Dia hanya menyukai seorang gadis seperti Caroline. Dia tidak menyukai gadis cupu sepertiku. Tapi, aku sekarang sudah berusaha untuk berubah dengan melepaskan kacamata lensaku. Apa itu kurang? Apa aku masih seperti Libby yang cupu dimatanya. Aku merasakan pipiku memanas dengan genangan air mata menutupi wajahku.


Suara Justin masih terus menggema dibenakku.

“Semua, semua salah. Dan sekarang, kau pergi dari sini. Aku tidak ingin melihatmu sekarang”aku tahu Justin. Aku tahu, mungkin aku memang harus menyerah. Aku akan menyerah…. Sekarang.




***** 



Ini hari ke 7. Seminggu, aku tidak pernah lagi bertemu Justin. Aku berusaha menjauh darinya, aku berusaha melupakannya, aku berusaha untuk tidak menganggunya. Dan, aku kembali menjadi seorang Libby yang dulu. Libby yang memakai kacamata berlensa. Kupikir, ini memang diriku yang sebenarnya. Aku kembali berjalan menuju kebagian loker, meletakkan buku-bukuku disana. Aku memutar kuncinya, hingga terdengar bunyi klik erbuka dan celah terbuka sedikit dengan suara derakan berderit kecil. Aku langsung memasukkan bukuku dan kembali menutupnya kembali seperti semula.


Aku terkejut, nyaris mati. Begitu melihat seseorang sudah berdiri didepanku. Sepasang bola matanya menatapku dalam, intens, penuh kerinduan. Aku terkejut, merasakan jantungku mencelos sekarang.“Justin?”aku sedikit bergetar saat berusaha mengucap satu nama itu. Aku sudah berusaha untuk menjauhinya, aku berjanji untuk tidak dekat dengannya kan? Aku langsung melangkahkan kakiku, berusaha untuk menghindar dan sebisa mungkin menjauh darinya. Namun, tangan Justin dengan sangat cepat mencekal pergelangan tanganku. Menahanku untuk pergi.


Aku tersentak. “biarkan aku jauh-jauh darimu”ujarku sedikit gemetar, merasakan seluruh intonasi suaraku penuh ambigu. Justin makin mencekal pergelangan tanganku makin keras lagi. Aku merasakan kelopak mataku kembali memanas, aku mengerjapkan bulu mataku beberapa kali untuk menahan air mata itu agar tidak menetes kepipiku sekarang.


“Justin, aku ingin menjauhimu”

“Lepaskan aku”

“tidak”dia berkata tegas, mencetus tiba-tiba. Aku tidak peduli. Aku kembali meronta. “Lep—“Justin langsung membungkam bibirku dengan bibirnya, melumat bibirku lembut dan pelan. Aku kembali terkejut merasakan dalam beberapa detik, sensasi panas berusaha menyebar dalam diriku. Menyebar, dan menyesat seakan berusaha membakar diriku sekarang. Justin … apa yang kau lakukan? Aku bukan Caroline. Kenapa kau menciumku? Aku langsung menjauhkan tubuhnya kasar, hingga dia terdorong dan menjauhkan bibirnya dariku.


“What are you doing?! I’m not Caroline.. “

“Aku tahu, kau Libby. Bukan Caroline”ujarnya lagi menatap sepasang mataku dalam, berusaha menjangkau titik terlemah dalam pupil mataku seakan ingin menguak sesuatu didalam sepasang bola mata biru lautku. Aku menangis, air mataku melesat turun membasahi pipiku lagi. Aku lemah sekarang.


“Jangan pernah tinggalkan aku, Libby”Deg. Dadaku nyaris melompat keperut dan terlempar lagi keujung tungkai kakiku, merasakan sekujur ususku sembelit dan melilit seperti sulur yang merambat. Apa, dia barusan mengatakan apa padaku. Aku tahu dia sedang bercanda. Jari tangannya naik menangkup kedua pipiku. Dia mendekat, hembusan nafasnya menyerpa wajahku lembut.


“Kau yang menyuruhku untuk pergi meninggalkanmu!”

“Aku tahu. Dan kau mau tahu, semua itu karena apa ? Karena aku benci melihatmu berubah. Aku menyukai seorang Libby yang apa adanya seperti sekarang. Bukan Libby yang aku lihat saat pertandingan basketku seminggu yang lalu. Aku lebih suka dirimu sekarang”aku nyaris mencelos lagi. Merasakan suhu tubuhku turun drastis, dengan energi panas langsung memuai cepat.


“Bohong. Kau bohong Justin! Kau bohong!”

“Demi tuhan, Libby. Dulu, aku bersikap ketus padamu karena aku berpikir bahwa kau sama seperti Caroline yang berdekatan denganku hanya untuk mencari kepopuleran, tapi ternyata aku tidak benar.”ujarnya lagi tegas, aku bisa melihat sepasang bola matanya berpendar manis didepanku. Aku tergelak bungkam seribu bahasa. Aku sedikit menggelinjang, merasakan jemari Justin mengusap pelan bibirku. Dan dia mencium bibirku, tadi.

“im really so sorry if I love you”ujarnya lagi, kali ini jelas dan makin mendekatkan wajahnya mendekat. Aku merasakan sekujur tubuhku seperti disengat oleh tawon, bengkak dan berdenyut. Aku mengangkat wajahku, menatap sepasang bola matanya, dia ikut menatap bola mata biruku dari balik kacamata yang kupakai. Aku tidak percaya ini. Aku meneguk ludahku lagi, merasa bimbang dengan perasaan yang bergelut dengan diriku.


“please, be my girl”Justin kembali memohon, mengenggam kedua tanganku. Aku mengerjap berusaha menguasai detak jantungku yang berdebar cepat kali ini. Jeez. Justin mengatakan itu padaku. Ini bukan mimpi, kurasa ini bukan mimpi. Aku meronta, berusaha agar dia melepaskan cekalan tangannya dariku. Justin makin menggenggamnya lebih erat lantas menarik diriku didalam dekapan dadanya. Aku tenggelam dalam diri Justin, merasakan aroma tubuhnya yang membuatku nyaman. Dibelai dan disentuh penuh kelembutan. Dia menghirup aroma tengkukku dalam-dalam. Kurasa…



Aku tidak bisa menolaknya.
Aku mau menjadi gadis milik Justin, seutuhnya.
Kupikir, cinta yang semula aku kira adalah cinta yang salah.. apakah itu benar-benar cinta yang ditunjukkan padaku? Aku tidak tahu.

Minggu, 14 April 2013

6 Organisasi Rahasia Paling Berbahaya Di Dunia



by Salsabilla Aziesta Ramadhani on Saturday, June 23, 2012 at 3:26pm ·

Setiap organisasi dibentuk untuk tujuan tertentu, tergantung siapa yang mendirikan dan siapa saja anggotanya, sehingga tak dapat dipungkiri kalau tak semua organisasi memiliki tujuan yang baik. Di antara organisasi-organisasi jahat itu bahkan ada yang seperti tak henti-hentinya menebar teror dan pembunuhan demi satu tujuan. Dan karena tujuannya itu, tak jarang organisasi ini bersifat sangat rahasia sehingga banyak yang ragu kalau organisasi itu memang ada. Berikut enam organisasi paling jahat dan berbahaya di dunia yang datanya dikutip dari berbagai sumber.



1. Freemasonry

Eksistensi organisasi persaudaraan rahasia kaum elit Yahudi ini berawal dari dibasminya ordo Ksatria Templar oleh Raja Perancis Philipe le Bel dan Paus Klemens V pada abad 14. Ketika pembasmian berlangsung, para anggota ordo ini tercerai berai kemana-mana dan di antaranya ada yang menyamar menjadi tukang batu dan bergabung dengan Serikat Tukang Batu di Skotlandia yang disebut Mason. Bahkan dari nama inilah nama Freemasonry berasal. Menurut sejumlah referensi, termasuk buku 'Knight Templar, Knight Crist', organisasi ini bertujuan untuk menegakkan kembali kejayaan bangsa Yahudi yang terusir dari Yaruselem pada 70 Masehi setelah runtuhnya kuil Sulaiman akibat perang Salib. Untuk mencapai tujuannya ini, mereka melakukan berbagai cara, termasuk menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalannya, bahkan menghancurkan negera yang dianggap tidak mendukung gerakannya. Kelompok inilah yang berada di belakang Revolusi Perancis pada 1789, Revolusi Inggris, dan yang memerdekakan Amerika Serikat 4 Juli 1776 dan kemudian menungganginya hingga kini. Bahkan mereka pula yang berada di belakang berdirinya negara Israel. Hingga kini organisasi ini masih terus bekerja untuk menggenggam dunia dengan berupaya menciptakan Tatanan Dunia Baru dimana mereka sebagai penguasanya. Bukti salah satu kekuatan mereka tertera pada uang lembaran satu dolar Amerika yang bergambar piramida dengan satu mata pada puncaknya.



2. Illuminati

Ini juga kelompok persaudaraan rahasia kaum elit Yahudi. Semula organisasi ini berdiri sendiri, namun karena memiliki kesamaan misi dan visi dengan Freemansonry, organisasi ini bergabung dengan organisasi itu. Illuminati yang berarti pencerahan, didirikan oleh Adam Weishaupt (1748-1811) seorang keturunan Yahudi kelahiran Ingolstadt, Jerman, dan memiliki latar belakang pendidikan sebagai seorang Jesuit. Dia bahkan pernah menjadi pendeta Katolik, namun karena ajarannya dianggap menyimpang, dia didepak gereja. Hingga kini organisasi ini terus bahu membahu untuk menjadikan Israel sebagai penguasa dunia.

3. The Order of Nine Angles (ONA)

Organisasi pemuja setan ini muncul di Inggris Raya pada tahun 1980-an dan 1990-an. Anggota organisasi ini didoktrin sebagai individu yang menjadikan dirinya sebagai pribadi-pribadi yang unggul dan bijaksana, sehingga mereka tak segan-segan menghadapi tantangan yang mungkin saja melampaui kemampuan batas fisik dan mental nya. Organisasi yang memiliki asosiasi dan kelompok-kelompok di Amerika Serikat, Eropa, Australia, Selandia Baru, Kanada, Rusia, dan Islandia ini tak segan-segan mengorbankan nyawa manusia dengan dalih untuk menghilangkan karakter manusia yang lemah.

4. Thule Society

Sebelum Nazi berkuasa, kelompok ini berpusat di Munich, Jerman, dan setelah organisasi yang dipimpin Hitler itu berkuasa, kelompok ini dimasukkan dalam organisasi bersebut. Thule berasal dari sebuah wilayah misterius di utara Yunani dimana di situ hidup makhluk yang disebut Hyperboreans dan dan dipercaya sebagai ras asli bangsa arya. Organisasi ini dibentuk pada 17 Agustus 1918 oleh tiga orang, dimana dua di antaranya bernama Rudolf von Sebottendorff dan Lanz von Liebenfels. Organisasi ini dicurigai punya kaitan dengan Freemansonry dan Illuminati, karena tujuan organisasi ini juga untuk menciptakan Tatanan Dunia Baru. Mereka bahkan tak segan-segan membunuh dengan dalih untuk mengurangi populasi. Anggota organisasi ini bahkan mempraktekkan Seksual Black Magic dan Magic yang dicurigai bersumber dari Kaballah, ilmu sihir Yahudi kuno. Konon, masuknya organisasi ini ke Nazi lah yang membuat Hitler menjadi memiliki nafsu membunuh yang keji dan impoten. Ini terjadi serelah Hitler mengikuti ritual-ritual sesatnya itu.

5. Skull and Bones

Organisasi ini didirikan pada tahun 1832 oleh mahasiswa Yale bernama William Huntington Russel, seorang pemuda dari keluarga kaya raya yang mendapatkan hartanya dari bisnis perdagangan opium. Pada awal tahun 1830, Russel pergi ke Jerman untuk belajar selama setahun. Di sana, ia bertemu dengan pemimpin sebuah perkumpulan rahasia dan segera menjalin persahabatan dengannya. Perkumpulan ini disebut memiliki keterkaitan dengan okultisme dan menggunakan kepala orang mati sebagai lambangnya.

Saat itu, di Amerika sedang beredar sentimen anti freemasonry yang sangat kuat. Partai anti mason didirikan dan banyak politikus berkampanye untuk melarang aktifitas Freemasonry. Dampak dari kampanye ini kemudian mempengaruhi semua organisasi yang bersifat rahasia, termasuk perkumpulan-perkumpulan mahasiswa. Ketika Russel kembali ke Yale, ia menemukan kalau sentimen inipun mempengaruhi perkumpulan-perkumpulan yang ada di situ, termasuk perkumpulan favoritnya, Phi Betta Kappa, yang mulai menanggalkan tradisi kerahasiaan mereka.

Melihat situasi ini, Russel menjadi sangat marah dan bertekad untuk membalas dendam. Lalu ia mengumpulkan para mahasiswa dari keluarga berpengaruh dan mengajak mereka untuk mendirikan sebuah perkumpulan rahasia yang diberi nama The Brotherhood of Death atau The Order of the Skull and Bones yang kemudian berubah menjadi Skull and Bones saja. Salah satu perkumpulan rahasia paling beroengaruh di Amerika ini memliki ritual yang mengerikan, karena setelah 15 anggota baru terpilih, mereka harus menjalani ritual wajib seperti berbaring di dalam peti mati, bergulat di lumpur, mencium tengkorak dan memberikan pengakuan mengenai sejarah kehidupan seksual mereka di hadapan anggota-anggota lain. Namun demikian, dari perkumpulan ini lahir tokoh-tokoh penting seperti Henry Luce sang pendiri majalah Time, dan Frederick Smith sang pendiri FedEx.

6. Order of The Assassins

Nama organisasi ini berasal dari bahasa Arab Hashashin atau Hashashiyyin, dan didirikan oleh Hasan-i-Sabbah, seorang pengikut sekte Ismailiyah, sebuah sekte yang berkembang di kawasan Persia, khususnya Kairo, Suriah, dan sebagian kawasan Timur Tengah. Organisiasi ini merajalela selama hampir dua abad, tepatnya dari tahun 1090 hingga 1273. Korbannya adalah orang-orang ternama dan ditakuti oleh raja-raja, pangeran, para syekh, dan sultan. Organisasi ini bermarkas di Alamut (sekarang di sebelah barat Iran), dan memiliki anggota yang sangat loyal dan berani mati yang disebut Fidayeen. Organisasi ini dapat dianggap sebagai organisasi teroris pertama di dunia.





















Sumber: http://www.facebook.com/notes/salsabilla-aziesta-ramadhani/6-organisasi-rahasia-paling-berbahaya-di-dunia/310269549064762

Bukan Sekedar Bahasa Biasa



Indonesia adalah Negara yang memiliki kepadatan penduduk keempat setelah RRC (Republik Rakyat China), Amerika, dan India. Luasanya Negara Indonesia hampir setengahnya dari luasnya benua Asia Tenggara. Karena luasanya Negara Indonesia, tidak dipungkiri lagi bila ada 1128 suku dan 746 bahasa daerah yang berkembang di Nusantara. Adanya keanekaragaman suku dan bahasa tidak membuat Indonesia terpecah. Namun malah makin membuat Indonesia makin bersatu. Seperti semboyan Negara Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua.

Kekayaan alam Indonesia sudah terkenal hingga kemanca Negara. Bukan hanya kekayaan alamnya saja, keramahan dan kesopanan rakyat Indonesia juga sudah diketahui orang banyak. Namun Indonesia bukan hanya Negara yang memiliki kekayaan alam dan watak yang baik, tapi juga memiliki suku dan bahasa daerah yang unik. Contohnya ada bahasa jawa dari suku jawa, bahasa madura dari suku madura, bahasa batak dari suku batak dan bahasa bali dari suku bali dan masih banyak lagi.

Perlu diketahui penduduk Indonesia banyak yang berasal dari suku jawa. Hampir disetiap penjuru daerah di Indonesia terdapat orang yang berasal dari suku jawa. Itu menandakan bahwa bahasa jawa bukan bahasa yang asing ditelinga masyarakat Indonesia. Bahkan untuk zaman sekarang sudah banyak yang mempelajarinya. Bukan hanya yang berasal dari masyarakat Indonesia saja, tapi warga Negara asing juga sudah mulai mempelajarinya.

Bahasa Jawa sendiri berasal dari bahasa aksara jawa. Bahasa jawa adalah bahasa sehari hari yang biasa digunakan oleh masyarakat di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain 3 daerah tersebut, ada daerah lain yang menggunakan bahasa jawa juga, yaitu Banten dan Jawa Barat. Khususnya kawasan pantai utara yang terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Bahasa jawa sendiri sudah digunakan kurang lebih 80–100 juta jiwa.

Mempelajari bahasa jawa tidak semudah kelihatannya. Orang-orang harus mempelajari struktur kata dan maknanya.Seperti adanya bahasa kromo inggil. Kromo inggil itu bahasa jawa yang lebih halus nah biasanya kromo inggil dipergunakan ketika berbicara kepada orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati. Seperti kepada orang tua, sesepuh setempat. Contoh penggunaan kromo inggil yaitu saat ingin menanyakan dimana rumah sesorang: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”. Selain bahasa kromo inggil, ada juga bahasa jawa yang lembut juga namun digunakan kepada orang yang sepantaran. Contohnya seperti ini: Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”

Bahasa jawa memiliki loghat dan ciri yang khas. Bahasa jawa bercirikan bahasa yang lemah lembut dan berwibawa. Berdasarkan daerah, loghat dari Bahasa Jawa dibagi tiga:





1. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :

Kelompok yang sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak

*Loghat Banten

*Loghat Indramayu-Cirebon

*Loghat Tegal

*Loghat Banyumasan

*Loghat Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

2. Kelompok Bahasa Jawa Bahagian Tengah :

Kelompok yang sering disebut Bahasa Jawa Standard, khususnya Loghat Surakarta dan Yogyakarta.

*Loghat Pekalongan

*Loghat Kedu

*Loghat Bagelen

*Loghat Semarang

*Loghat Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)

*Loghat Blora

*Loghat Surakarta

*Loghat Yogyakarta

3. Kelompok Bahasa Jawa Bahagian Timur :

Kelompok yang sering disebut Bahasa Jawa Timuran.

*Loghat Madiun

*Loghat Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)

*Loghat Surabaya

*Loghat Malang

*Loghat Tengger

*Loghat Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)



Selain suku jawa, Indonesia juga memiliki suku lain yang bahasa daerahnya tidak kalah uniknya. Yaitu suku madura. Suku madura menggunakan bahasa madura. Bahasa madura sudah digunakan kurang lebih 14 juta orang. Berpusat di pulau madura, ujung timur pulau jawa atau dikawasan yang disebut kawasan tapal kuda yang terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, hingga Banyuwangi, kepulauan Masalembo hingga Pulau Kalimantan.

Nah di Pulau Kalimantan sendiri, masyarakat madura berpusat di kawasan Sambas, Pontianak, Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan Barat. Sedangkan di Kalimantan tengah, mereka berkonsentrasi di daerah kota Waringin Timur, Palangkaraya, dan Kapuas. Namun kebanyakan generasi muda madura di kawasan Kalimantan tengah sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibu mereka.

Ciri khas dari bahasa madura adalah penggunaan kata “taiye” diakhir kalimat. Selain penggunaan kata “taiye”, intonasi pengucapan kalimat atau kata dalam bahasa madura terkesan tegas dank eras. Walaupun terkesan keras dan tegas, itu tidak mengurangi keunikan bahasa tersebut, tapi malah makin membuat bahasa tersebut semakin unik.

Ada bahasa daerah lain yang intonasinya juga terkesan tegas dan keras. Ya bahasa batak. Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak,

Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Bahasa ini dijuluki northwest Sumatra-barrier island dalam rumpun bahasa melayu-pollinesia. Orang orang yang berasal dari suku batak biasanya menggunakan kata “horas” yang berartian selamat datang kepada seseorang yang baru datang atau hanya sekedar untuk memberi semangat atau bisa diartikan juga sebagai identitas bahwa orang orang tersebut berasal dari suku batak. Bahasa batak sendiri diobagi menjadi tiga bagian yaitu:

1. Kelompok Utara : Alas-Kluet, Dairi, Karo

2. Kelompok Selatan : Toba, Angkola, mandailing

3. Perantara : Simalungun

Indonesia bukan cuma Negara yang memiliki bahasa yang berintonasi tegas, keras dan berwibawa. Tapi juga Negara yang memiliki bahasa daerah yang berintonasi sopan. Salah satu contohnya yaitu bahasa bali.

Bahasa bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang sundik. Bahasa ini sudah digunakan di Pulau Bali, Pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur Pulau Jawa. Bahasa ini sendiri sudah digunakan kurang lebih 4 juta jiwa. Di Bali sendiri bahasa bali memiliki tingkatan penggunaannya. Ada yang disebut bali halus, bali madya, dan bali kasar.

Bahasa bali halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Nah sedangkan yang bali madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya. Sedangkan bali kasar dipergunakan bertutur oleh orang yang tidak memiliki pangkat atau jabatan penting. misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya.

Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram. Sedangkan di pulau Jawa, bahasa Bali terutama dibeberapa desa dikabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali.

Adanya keanekaragaman bahasa daerah yang Negara kita miliki seharusnya kita bangga. Tidak semua Negara memiliki keanekaragaman bahasa seperti yang dimiliki oleh Negara kita. Bangga saja tidak cukup. Harus ada aksi agar bahasa yang kita punya tidak menghilang, seperti belajar bahasa daerah tersebut, mempromosikan bahwa bahasa daerah itu bukan bahasa yang tidak menarik dan menghargai semua keanekaragaman bahasa yang Indonesia miliki. Dan yang pasti tetap menjaga persatuan Republik Indonesia.















Walau Berbeda Tetap Satu Tujuan

Thufailah firdhausya Prafdina –tfp9Bp2

Monalisa...







sebuah lukisan tua berusia lebih 500 tahun yang digantung di salah satu sudut dinding Museum Louvre di kota Paris, Perancis terus menjadikan misteri yang membingungkan khalayak ramai hingga saat ini. Lukisan cat minyak tersebut menggambarkan seorang gadis yang tidak dinafikan lagi kecantikannya. Dia kelihatan menghadap ke arah pelukis dengan kedua pergelangan tangannya dirapatkan antara satu sama lain. Sekitar 1503, lukisan itu dibuat oleh Da Vinci.



Da Vinci itu tidak menyelesaikan dengan singkat lukisan tersebut, ketelitian serta berbagai penekanan dalam proses menghasilkan karya seni tinggi yang menyebabkan lukisan berjudul ‘Mona Lisa’ itu rampung empat tahun kemudian. Kini, setelah lebih dari 500 tahun berlalu, lukisan agung dengan lebar 53 cm dan panjang 77 cm itu tergantung di balik cermin yang terlindungi. Sebelum dipindahkan ke suatu galeri khusus pada April 2005, jutaan wisatawan dari seluruh dunia mengunjungi MuseumLouvre semata-mata hanya ingin melihat potret yang penuh dengan misteri dan enigma itu.



Selain kekaguman akan karya seni yang memukau, tanda tanya pasti ada dibenak orang-orang yang memerhatikan dengan teliti raut wajah pada lukisan tersebut. Banyak yang mengatakan, jarang sekali manusia yang memiliki senyuman "semisteri" senyuman Mona Lisa. Bentuk senyuman itu tampak berbeda apabila dilihat dari sudut yang berlainan berlainan.



Ketakjuban akan senyuman itu menyebabkan ia menjadi suatu obyek penelitian. Para ahli psikologi dan pengkaji seni berusaha untuk menafsirkan makna di sebalik senyumanMona Lisa. Sudut-sudut terkecil dalam lukisan berkenaan diteliti demi upaya untuk membongkar rahasia yang menyelubungi lukisan wanita tersebut. Dengan kecanggihan teknologi olah digital, sosok didalam lukisan direka ulang untuk mengetahui perasaan sang model ketika ia melepaskan senyuman seunik itu.



Program komputer yang dikembangkan di Universitas Illinois dan Universitas Amsterdam membandingkannya dengan berbagai ekspresi wajah manusia. Mengukur dengan sangat teliti bentuk seperti lengkungan bibir dan kerutan sekitar mata untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Hasilnya, program ‘pengenal emosi’ itu memberikan kesimpulan bahwa wanita dalam lukisan Da Vinci tengah berada dalam beberapa kondisi emosional, 83 persen dikatakan gembira, sembilan persen muak, enam persen takut dan dua persen marah.



Pada tahun 2003 ilmuwan dari Harvard University mengatakan bahwa cara mata-nya memandang membuatkan senyuman Mona Lisa hanya tampak unik ketika seseorang memandang bagian lain dari lukisan tersebut. Baru-baru ini pula, sekumpulan penyelidik Kanada mencoba membongkar misteri dengan mengasumsikan bahwa senyuman Mona Lisa sebagai tanda kegembiraan wanita yang baru saja melahirkan anak keduanya.



Asumsi tersebut berdasarkan penemuan beberapa pengkaji yang mengamati bagian lukisan menggunakan cahaya inframerah dan teknik tiga dimensi. Dengan teknik-teknik itu, mereka dapat melihat goresan cat lapisan demi lapisan yang dihasilkan Da Vinci, selain menjumpai bagian yang tidak dapat dilihat mata kasar.



"Dari pengamatan yang sangat mendalam terhadap lukisan, jelas terlihat bahwa baju yang dikenakan oleh obyek lukisan dilapisi kain kasa lutsinar," ujar Bruno Mottin dari Pusat Penelitian dan Restorasi Museum Perancis. Kain jenis ini banyak dipakai wanita di Italia yang sedang mengandung atau baru saja melahirkan pada abad ke-16.



Selain senyumannya yang unik, satu lagi keistimewaan gaya lukisan Da Vinci. Bola mata Mona Lisa seakan-akan sentiasa memandang ke arah pengunjung dari setiap arah dan sudut manapun mereka memerhatikan lukisan.



Akan tetapi, misteri yang dikatakan paling utama dari lukisan tersebut adalah siapakah wanita yang dijadikan model oleh Da Vinci tersebut?



Sebuah teori mengatakan sang wanita gembira kerana baru saja melahirkan anak kedua-nya. kemudian dikaitkan bahwa model Mona Lisa sebenarnya ialah Lisa Ghererdini, isteri seorang pedagang bernama Francesco de Giocondo. Nama Mona Lisayang digunakan juga memiliki arti Madam Lisa. Selain itu, ada beberapa wanita yang dikaitkan sebagai Mona Lisa selain Lisa Ghererdini. Wanita-wanita yang turut dikaitkan sebagai model Mona Lisa ialah Isabella of Aragon, Caterina Sforza dan Constanza d'Avalos.



Seorang penulis, Serge Bramly, mengemukakan teori bahawa model lukisan Mona Lisaadalah ibu Leonardo Da Vinci itu sendiri bernama Caterina. Terdapat juga pengkaji seni yang mengatakan bahwa wajah Mona Lisa yang dilukis Leonardo tanpa merujuk kepada siapapun, sebaliknya berdasarkan kreativitas pelukis itu sendiri. Bagaimanapun juga, teori yang paling mengejutkan dikemukakan oleh Dr. Lillian Schwartz dari Bell Labs yang menyatakan bahwa Mona Lisa sebenarnya adalah wajah Leonardo Da Vinci itu sendiri dalam versi wanita.



Fakta :



- Lukisan itu menjadi populer setelah dicuri dari Muzium Louvre pada 21 Agustus 1911. Seorang pekerja musium bernama Vincenzo Peruggia akhirnya terbukti bersalah atas kasus tersebut. Lukisan itu ditemukan dan dikembalikan kembali ke Museum Louvre dua tahun kemudian.



- Popularitas lukisan Mona Lisa dijadikan sebagai inspirasi karya lagu lebih dari 10 kali, juga diangkat sebagai tema film dan berbagai seni sastra lainnya.



- Nama ‘Mona Lisa’ diberikan kepada lukisan tersebut 31 tahun setelah kematian Da Vinci. Selain Mona Lisa, judul lainnya adalah ‘La Gioconda’.



- Terdapat beberapa perbedaan pendapat yag mengatakan bahawa Mona Lisamembiarkan rambutnya terurai hingga ke bahu seperti terlihat dalam lukisan. Namun hal itu disanggah dengan kenyataan bahwa seakan-akan rambut itu sebenarnya adalah kain pelindung kepala dan hanya beberapa helai rambut yang terlihat. Sebab perbuatan membiarkan rambut bebas terurai di zaman Renaissance adalah ciri wanita muda yang tidak memiliki sopan santun.

L I F E

By: Mega Rajendra Putri


oke, jadi aku punya cerita. sebetulnya ini tuh bukan cerita aku, cerita dari penulis kesayangan akuuu, dia itu cantik loh~ terus pinter ya pokoknya keren deh orangnya... dia penulis yang mm.. apa ya? pokoknya

keren deh dia.






langsung aja yaa~ enjoy guys~~

Kehidupan, siapa yang tahu.. Apa yang akan terjadi dalam hidup kita, tak akan pernah ada yang bisa memprediksi, siapa orang yang akan datang dan siapa orang yang akan pergi dari kehidupan kita. Hidup itu kejutan. Hidup itu warna. Hidup itu anugerah. Hidup itu nafas. Hidup itu tawa. Hidup itu aku. Aku yang berdiri disini adalah bagian dari sebuah kehidupan. Aku yang menulis ini adalah bagian dari rangkaian cerita. Karena hidupku.. Adalah skenario unik yang tak tahu kapan akan berakhir.
Namaku Jesse Angelica. Umurku 17 tahun dan aku adalah seorang penulis. Menulis adalah hidupku, denyut nadiku. Aku menulis apapun yang bisa aku tulis. Cerita hidupku, kisah cintaku, bahkan aku sering mengangkat sebuah kejadian-kejadian nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari ke dalam sebuah cerita. Berkhayal dan bermimpi adalah pekerjaanku.
Aku mencintai pekerjaanku. Aku mencintai segala hal yang membuatku bisa tersenyum. Percaya atau tidak, menulis sebenarnya adalah tempat dimana aku bisa membuang dan menumpahkan segala ganjalan di hatiku. Dengan menulis aku hidup. Dengan menulis aku bisa menghasilkan suatu karya. Dengan menulis, aku bisa bertemu dengannya. Dengan menulis, aku bisa merasakan orang yang kucintai hidup. Dengan menulis, aku bisa membayangkan dia ada di hadapanku, menatapku dengan senyum manisnya yang amat khas. Dihias oleh sebuah lesung pipi yang indah. Dia benar-benar sempurna.. Dialah malaikatku.. Jason.

"Jesse.. Ayo pulang, ini sudah hampir malam." Aku menoleh dan tersenyum sekilas. Dia adalah Shine, sahabat yang paling aku sayangi.

"Beri aku waktu 5 menit lagi untuk menatap Jason.. Kau tahu? Dia tidak datang ke mimpiku dua hari belakangan ini."

"Ayolah Jesse.. Bisakah kau tidak seperti ini? Jason sudah pergi, Jesse." Shine menatapku marah.

"Aku mengerti.. Aku hanya ingin mengunjunginya. Salahkah aku?"

"Kau tidak salah, tapi otakmu yang salah. Ayo pulang, Jesse."

Aku tertawa kecil lalu menatap nisan putih bertuliskan nama Jason Buttland, nama orang yang paling kucintai. Kuusap perlahan dan kukecup dengan sepenuh hatiku.

"Aku akan kembali besok, Jason. Hari ini aku sudah mengunjungimu. Berjanjilah padaku kau akan datang ke mimpiku nanti malam." Aku tersenyum dan berdiri.

"Ayo, Shine." Ajakku. Shine mengangguk dan berjalan di sampingku.

Inilah rutinitas ku setiap petang. Aku selalu mengunjungi makam ini. Walau hanya sekedar menyapa sebuah nisan yang tidak akan pernah bisa bicara, setidaknya aku merasa kau ada, Jason.

"Jesse.. Sejak hari pertama Jason meninggal, kau bahkan tidak pernah menangis sedikitpun. Apa kau gila? Ini sudah hampir 1 tahun, Jesse."

"Aku berjanji pada Jason, jika ia meninggal, maka aku tidak akan menangis sama sekali. Karena ia berkata bahwa ia akan selalu di sampingku, memandangiku, jika aku tidak menangis. Bukankah aku menepati janjiku?" Aku tersenyum dan menatap Shine.

"Kau gila, Jesse. Kau menyiksa dirimu untuk tidak menangis."

"Aku tidak merasa tersiksa.. Aku justru bahagia, Jason selalu melindungiku, meski ia tidak lagi hidup. Kau percaya yang namanya cinta sejati? Kupikir Justin adalah cinta sejatiku. Konyol memang, mengingat umurku yang masih terbilang muda. Namun, ini lah aku.. Kemanapun aku melangkah, bersama siapapun nanti aku hidup. Jason, tetap bagian dari separuh hatiku.. Dia hidup, Shine.. Dia hidup.. Dihatiku sampai aku mati nanti.."

"Aku tidak bisa percaya ini." Ucap shine frustasi.

***

Ini bukan soal omong kosong.. Tapi ini adalah kenyataan hidup. Jason.. Jason Buttland. Lelaki berusia 18 tahun itu, yang mempunyai senyum indah itu.. Pergi terlalu cepat.
Jason menderita kerusakan hati sejak kecil. Aku tahu akan itu. Jadi bukan hal aneh bagiku jika sewaktu-waktu Jason muntah darah di hadapanku. Bukan hal mengejutkan jika sewaktu-waktu Jason kejang-kejang lalu mengerang kesakitan di hadapanku. Apakah itu menyakitkan bagiku? Munafik jika aku menjawab tidak. Awalnya aku tidak bisa untuk tidak bisa menangis, jika Justin memuntahkan darah atau mengerang kesakitan di hadapanku. Namun Jason, dia justru masih sanggup tersenyum dan mengusap air mataku.
Masih terekam jelas dalam ingatanku, Jason menuliskan nama kami berdua dengan darah yang ia muntahkan dari mulutnya di hadapanku. Lalu ia berkata.

"Sakit ini tidak berarti, darah ini tidak membuatku takut mati.. Karena mendengar namamu saja, aku sudah merasa baik, jesse. Jangan menangis. Lihat.. Tuhan memberiku darah ini untuk mengukir nama kita. Jangan menangis,Jesse"

Betapa aku ingin memeluknya. Mengatakan bahwa aku mencintainya sebanyak yang aku bisa. Namun.. Kejadian itu sudah berlalu. Jason meninggal setahun yang lalu, tepat dipangkuanku. Saat aku mengajaknya pergi ke bukit bintang. Ia bilang, ia ingin pergi kesana dan aku menyanggupinya. Aku tak menyangka bahwa itu adalah detik terakhirnya bersamaku. Betapa aku ingin menangis sekeras mungkin dan memohon pada tuhan agar Jason tetap tinggal. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya memeluknya, dan mengucapkan selamat jalan. Yaaa.. Aku adalah aku yang sekarang. Aku yang tegar. Aku yang tidak lagi menangis. Ini semua demi janjiku padamu, Jason...

***

"Jesse!!!" Seru seseorang sambil menahan tubuhku yang hampir ambruk ke lantai
"Jesse!! Kau baik-baik saja?" Aku bisa melihat wajah itu samar-samar. Raymond.. Dia adalah kakak Jason. Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya. Mataku terasa berkunang-kunang. Akhirnya aku menutup mataku yang berat ini.

***

"Jesse.. Ada apa denganmu?" Jason memelukku, mengusap rambutku dengan lembut.

"Aku merasa kurang baik. Sepertinya aku terlalu merindukanmu, Jason.."


"Jagalah kesehatanmu, Jesse. Jangan seperti ini. Jika kau masih seperti ini.. Aku tidak mau datang ke mimpimu." Aku langsung cemberut.

" Jasooon.. Aku kan sudah berjanji, aku tidak akan menangis. Kau juga harus tepati janjimu!"

"Jesse, apakah kau akan selamanya seperti ini?"

"Apa maksudmu?"

"Aku berjanji akan menjagamu dari sini. Tapi kau, harus melanjutkan hidupmu, Jesse. Jangan menjatuhkan seluruh hidupmu untuk aku yang sudah meninggal. Aku hanya bisa menjagamu dari jauh, menemuimu lewat mimpi. Tapi aku tidak bisa.. Menyentuhmu, membuatmu tertawa seperti dulu. Jesse dengar, kau adalah malaikat terindah untukku, dan aku ingin kau bahagia Jesse. Jangan terus seperti ini.."

"Kau akan meninggalkanku lagi?"

"Tidak, tapi aku akan menghilang. Sudah saatnya.. Kau mencari penggantiku.. Aku izinkan kau untuk menangis lagi. Karena aku.. Sudah melepaskanmu..."

"Tidak Jason!!!"

"Kau harus bahagia, Jesse. Aku sangat mencintaimu."

" Jason tidak!! Tidak mungkin, Justin!!"

***

"JASOOOON!!!" Aku menjerit sekencang mungkin, saat Justin menghilang dari pandanganku dan bergantri menjadi sebuah kamar rawat. Aku hafal benar. Ini adalah unit kesehatan kampus. Raymond berdiri di sampingku, menggenggam tanganku. Dan menatapku khawatir.

"Jesse? Kau baik-baik saja?" Aku menatap Ray, Jason.. Ray sangat mirip dengan Jason
Aku refleks memeluknya lalu menangis sekuat yang aku bisa.
" Jasoooon.. Jasoon.. Jangan pergi.." Lirihku sambil terus memeluk Ray dengan erat.

*Raymond point of view*
Tuhan.. Gadis ini.. Ternyata gadis ini rapuh. Dalam kurun waktu satu tahun, gadis ini berusaha tidak menangis untuk adikku yang sudah meninggal. Dan hari ini.. Ia menangis, Tuhan.. Jesse menangis. Dihadapanku.
Jason.. Kau lihat ini? Bahkan gadis yang kusayangi ini masih sangat mencintaimu sampai detik ini. Dan ia menganggap aku adalah dirimu. Mengapa kau pergi begitu cepat?

Aku mengusap punggung Jesse, menenangkannya hingga tangisnya usai.
"Maafkan aku Ray."
"Its okay. Aku mengerti. Ada apa denganmu?"

"Jason.. Entah mengapa ia berkata bahwa ia tak bisa lagi hadir di mimpiku. Ia berkata bahwa aku seharusnya hidup dengan normal dan melupakannya. Ia bilang ia akan menghilang."

Aku jadi teringat mimpiku beberapa hari yang lalu. Jadi ini maksud Jason. Dalam mimpi itu dia hanya berkata "aku titip dia untukku" Dan aku baru mengerti.. Jesse adalah orang yang Jason maksud.

"Ray.. Aku tidak ingin Jason pergi. Berbulan-bulan aku menahan tangis sedihku hanya demi dia yang kucintai. Hanya demi dia bahagia. Tapi mengapa sekarang dia meninggalkanku lagi? Mengapa dia..."

"Aku mencintaimu, Jesse." Aku memotong ucapannya. Lalu Jesse menampariku, memukulku, melampiaskan kekesalannya padaku. Tapi yang kulakukan hanya diam. Kubiarkan ia mengeluarkan isi hatinya.

***

*Jesse Point Of View*
Jason.. Hari ini adalah tepat setahun setalah kau meninggalkan aku. 8 bulan aku hidup sendiri, ditemani bayang-bayangmu. Sampai akhirnya kau memutuskan untuk menghilang dari hadapanku.
Aku mengerti sekarang, kau mengirimkan Ray untukku. Kau ingin Ray menjagaku, seperti dulu kau menjagaku. Terimakasih Jason. Meski cintaku padamu jauh lebih besar daripada cintaku pada Ray, namun Ray banyak mengajariku untuk melepasmu, Jason.
Sampai kapanpun.. Kau adalah hidupku..kau tak akan pernah mati. Kuletakkan bunga lily kesukaannya di makam Jason. Aku tersenyum menatap Ray yang menggenggam erat tanganku. Satu lagi malaikat kecil yang tuhan kirimkan untukku. Raymond Buttlend

***

Aku tidak akan membiarkan seorangpun menyakitinya. Meski maut yang memisahkan aku dan dia, namun tak sedetikpun aku mengalihkan perhatianku dari wanita yang kucintai itu. Yang selalu membuat hari-hari ku bermakna.. Matahariku. Jesse Angelica.. Aku sangat mencintaiku. Terimakasih untuk 5 tahun terindah yang kau berikan untukku. Kupercayakan kau pada Ray.. Aku mencintaimu. Selamat tinggal..


- Jason Buttland -



The end.